Monday, 11 January 2010

Semua Ada Artinya by dindoth

Link asli: http://www.harrypotterindonesia.com/index.php/topic,7011.msg146325.html#msg146325

Tittle: Semua Ada Artinya (oneshot)
Genre: Friendship
Rating: K+
Characters: Severus Snape, Lily Evans, dan Marauders.
Timeline: Tahun ketiga Hogwarts Severus Snape.

Disclaimer: Semua yang ada didalam fanfic ini milik JK Rowling, saya hanya sekedar fansiseng yang mencoba menghancurkannyayang merayakan Snape Day.

Warning: Kejayusan, kegaringan, kedataran, tidak ditanggung oleh penulis.

Author's note:
Sebelumnya, Dinda berterima kasih untuk Tava Eurdanceza dan Zen Xiao-Fang aka Thiea J. Arantxa yang baca duluan dan bersedia ngasih komen. Thanks.


***


Semua Ada Artinya




Semuanya sudah berakhir.

Entah berapa jam aku duduk disini, aku tidak tahu, bahkan tak mau tahu. Aku ingin berlama-lama disini. Kerikil-kerikil kecil kulemparkan jauh-jauh, toh jatuh juga ke dalam danau. Buku ramuanku masih tergeletak tak berdaya disampingku. Aku menghela napas, semua yang kulakukan sepertinya hanya sia-sia. Tak akan ada yang ingat hari ini tanggal berapa, kurasa. Semuanya. Apakah ada yang tahu? Coba, aku ingin buktinya. Sekarang tanggal delapan Januari. Mungkin tanggal sembilan Januari tak akan pernah ada di dunia ini. Percuma. Tanggal sembilan adalah tanggal yang busuk.

Aku bangun berdiri, merapihkan celanaku yang agak kotor. Kuambil bukuku yang tergeletak ditanah. Lalu kuberjalan menuju kastil. Dan aku menyesal sekali, karena empat pembuat masalah di Hogwarts telah muncul berlagak sombong. Aku memutar balik badanku, merasa lebih baik aku tetap berada di dekat danau. Terlambat, suara kaki si Kepala Snitch dan teman-temannya seperti tak jauh satu sentimeter dariku. Aku berhenti berjalan. Dan semua kaki-kaki itu tak terdengar lagi.



”Kau kenapa, Snivellus?” suara yang tak asing terdengar ditelingaku. Paling tidak setiap hari seratus kali suara itu terdengar. Aku diam. Masih tetap diam.

”Kurasa dia tak mengerti bahasa kita, James,” kata teman satunya mencibir. Yah, siapa yang tak kenal suara sahabat karib Kepala Snitch, yang selalu dipuja-puja oleh lalat-lalat betina. Sepertinya usaha sabarku tak berjalan mulus, karena bibirku tak kuat untuk tak mengeluarkan kata-kata tajam.

”Maumu apa, eh?” tanyaku, masih membelakangi mereka semua, seakan-akan aku berbicara dengan angin. Hening. Tak ada kata-kata hinaan selanjutnya. Ini membuatku mengangkat alis. Tak tahan tidak melihat keadaan dibelakang, akhirnya aku membalikkan badanku. Coba tebak, gadis berambut merah baru saja melotot tajam kearah empat penghancur Hogwarts. Akan kuluruskan, si Kepala Snitch itu berpura-pura sopan didepan wanita. Ini membuatku muntah. Aku langsung saja memanfaatkan kesempatan ini. Tentu saja kembali ke kastil. Aku sudah menduga akan terjadi hal ini. Sebelum tanggal sembilan Januari saja hal buruk sudah menimpaku.

”Kau cepat sekali!”

Aku menoleh kebelakang. Gadis berambut merah berjalan menuju kearahku. Aku menghentikan langkah kakiku. Aku tersenyum kecil. Setidaknya, aku memang mengakui hanya karena gadis itu, aku merasa mempunyai teman di dunia ini. Dunia ini sempit, aku tahu. Dan aku benci itu. Aku tak akan pernah mengatakan dunia ini tak adil padaku, tapi itu memang kenyataan. Hanya karena gadis itu, aku merasa dunia ini luas.

”Kuharap kau tidak marah dengan geng bego itu,” ucap gadis itu, napasnya tersengal. Lalu dia menarik napas panjang untuk mengatur napasnya. ”Kuharap kau mau pergi ke perpustakaan, aku mau kesana.”

Aku mengangguk cepat.

Niat awalku sebenarnya ingin kembali ke asrama, namun kuurungkan. Aku berjalan dengan gadis Gryffindor ini. Entah mengapa bibirku tertutup rapat saat menuju perpustakaan. Seperti aku telah memakan satu karung Kacang Segala Rasa-setan. Ingin rasanya aku mempercepat langkahku, karena aku tak suka banyak anak-anak yang memandang tolol kepadaku, seakan-akan aku alien baru turun dari langit.

Dan untungnya, aku sudah berada di perpustakaan, sekarang.

Aku berpura-pura menyelesaikan tugas ramuanku, padahal tugas itu sudah jauh hari kukerjakan. Firasatku mengatakan gadis itu belum mengerjakan esainya, entahlah. Gadis itu mencari buku-buku di rak-rak tinggi itu. Aku merogoh kantung jubahku, untuk mengambil pena-bulu. Malah yang kudapat adalah bunga lili yang kupetik entah dimana. Gelagapan, kumasukkan bunga itu kedalam kantung jubahku lagi, takut gadis itu melihatnya. Kugaruk kepalaku yang tak gatal, seakan-akan aku tidak tahu apa-apa. Kemudian kurogoh lagi kantung jubahku, dan pena-bulu kudapat. Aku menulis asal-asalan perkamen kosong yang kuselipkan didalam buku ramuan.

”Lihat deh, Ramuan Penajam Kecerdasan, menurutmu, Slughorn besok Senin akan menyuruh kita membuat ramuan ini? Yeah, menurutku sih iya, soalnya untuk apa dia memberikan kita tugas esai mencari informasi tentang Penajam Kecerdasan?” gadis itu duduk disebelahku sambil membuka buku yang baru dia ambil dari rak. Aku tersadar akan sesuatu. Pipiku secara drastis memerah tak karuan. Aku berusaha mengontrol diriku.

”Aku rasa juga.”

Hanya itu jawabanku? Dasar bodoh.

”Kau belum mengerjakan esai Ramuan?”

Hebat. Aku bisa berbicara normal.

”Kau bercanda? Tentu saja aku sudah mengerjakannya. Well, aku kesini hanya ingin baca-baca saja. Dan, kau? Kulihat malah kau yang belum mengerjakan, mau kubantu?” dia nyengir lebar. Dan aku menyadari satu hal, betapa bodohnya firasatku. Berpura-pura menulis. Tak mungkin seorang murid kesayangan Slughorn belum mengerjakan tugas. Aku malah bodoh benar mengira seperti itu.

”Eh—aku hanya menambahkannya sedikit.”

Setelah itu, aku tak mendengar satu suara pun. Yang kudengar hanya suara cicit omelan Madam Pince yang memarahi anak-anak yang tertawa kecil di perpustakaan, dan suara kertas-kertas yang sedang dibolak-balikkan. Aku menutup buka ramuanku, lalu bangkit berdiri dari kursi menuju rak buku yang ada di depanku. Mondar-mandir aku sok mencari-cari buku, padahal aku tak berniat mencari buku apa pun. Aku mengambil bukuku diatas meja. Aku ingin kembali ke asrama, mengatasi rasa abstrak otakku. Lagi-lagi otakku tak terkontrol.

“Hei, aku duluan ya,” kataku. Gadis itu yang tadinya konsentrasi terhadap bukunya, mendongak kaget tiba-tiba ada yang bersuara. Ya, aku, aku yang bersuara, dan bukan hantu. Gadis itu tak memberi respon apa pun. Ini membuatku melangkahkan kakiku keluar dari perpustakaan. Mungkin kedudukanku benar-benar sudah sedikit tak berarti untuk gadis itu.

”Severus! Kau harus ke perpustakaan besok pagi! Sepagi mungkin!”

Aku menoleh.

”Astaga, Nona! Kau kira tempat ini apa, Lapangan Quidditch?” omelan Madam Pince segera menyusul setelah gadis itu berteriak. Aku mengangguk sebagai tanda setuju, lalu aku keluar sambil tertawa kecil.


***

Dan coba tebak, hari ini tanggal berapa?

Ya, hari ini bukanlah hari apa-apa.

Aku mengucek-ngucek mataku. Sesuai janji si gadis, aku akan ke perpustakaan pagi ini. Entah dengan hal apa aku ingin memenuhi perintah gadis itu untuk bangun pagi dan langsung ke perpustakaan. Bersyukur hari ini hari Minggu, biasanya dilewatkan oleh tidur panjang sampai siang, atau belajar, seperti aku, membosankan, memang. Aku bangun dari tempat tidur, masih menggunakan baju tidur. Aku keluar asrama, dan berjalan menaiki tangga pualam Hogwarts. Tentu saja ini hal gila. Dari Ruang Bawah Tanah aku menuju perpustakaan masih menggunakan baju tidur. Tidak apa, Severus, toh jam lima murid-murid Hogwarts masih tertidur lelap dikasur mereka.

Hebat. Perpustakaan masih dikunci. Aku tak tahu, apakah aku akan mulai membenci si gadis karena mengerjaiku seperti ini. Dimulai dari jam lima. Tanggal sembilan Januari dimulai kehancurannya. Aku menendang kesal.

Duk!

Merasa aku menendang sesuatu, aku melihat kebawah. Sebuah kotak terbungkus rapi oleh kertas berwarna hijau, dan ada pita yang mengikat. Aku berjongkok, mengambil bungkusan itu. Memeriksanya. Bodoh sekali, ini seperti malam Natal dan Santa yang sedang membagi-bagikan hadiah, dan aku malah memeriksanya.

Terkejut?

Sangat.

Ditujukan kepadaku. Tertulis disana namaku. Severus Snape.

”Sori, Severus,” suara yang tak asing kudengar. Gadis itu tiba-tiba berada disampingku. Aku berjengit, aku langsung berdiri. Melongo. Aku menutup rapat kembali kedua bibirku. Bungkusan itu kupegang ditangan. Gadis itu menguap, lalu menguncir rambut merahnya yang terurai. Dia masih mengenakan gaun tidurnya.

”Dan ini?” tanyaku bodoh sambil menyodorkan bungkusan itu.

”Untukmu, teman. Selamat ulang tahun.”

Senyumku melebar. Sekarang, aku menyadari betapa luasnya dunia, betapa pentingnya tanggal sembilan Januari didalam duniaku. Aku merasa semua hal buruk yang kualami seperti hamparan angin saja, aku sudah tak peduli. Hari ini duniaku. Tak ada yang bisa menggantikannya. Ingin rasanya aku berteriak. Tapi suaraku tercekat dalam mulutku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Mungkin empat atau lima kata saja. Dan yang terpenting, ada yang mengingat hari lahirku.

”Terima kasih, Lily Evans.”


***

Author's note: (again)
Lagi. Awalnya saya bertarung untuk menjadi pertamax dengan Kak Lia, tapi ternyata dia tak jadi menginap di warnet.

Kritik, saran, royalti, saya buka dompet saya lebar-lebar.

1 comments:

Anonymous said...

Wah..... salam kenal y. Ceritanya romantis n qeren bgt nich..... aq kasih jempol!! Maaf tdk pakai akun Google. Ini blog q:

http://natashaimoetz.blogspot.com
http://cerpenatasha.blogspot.com