Monday, 11 January 2010

Snivellus Sev by Lala^^

Link asli ada di sini: http://www.harrypotterindonesia.com/index.php/topic,7011.msg146339.html#msg146339

Judul: Snivellus Sev
Disclaimer: J.K. Rowling
Pairing: Snape x Lily
Rating: T
Genre: Romance, Angst, Tragedy
Author's Note: Ehem ehem. Sebaiknya saat anda membaca ini, dengarkanlah lagu Dewi Dee Lestari yang berjudul "Malaikat Juga Tahu" ya. Oke bro? Dan, apa nggak kepanjangan ya? Saya harap nggak. onfire sih, hehe. Okay, here we go!

***

Godric’s Hollow, Inggris 1980

Snape berjalan agak cepat mengikuti langkah lelaki berjubah hitam itu. Ia berusaha agar tidak ketahuan oleh lelaki itu, karena Snape sedang menguntitnya. Ia berjalan dan terus berjalan menyusuri pepohonan rimbun yang tenang dan damai. Laki-laki misterius itu terus berjalan setengah berlari, seakan-akan tak mempunyai tujuan jalan.

Sebenarnya untuk apa laki-laki itu berjalan disini? Bukankah seharusnya dia melakukan hal-hal yang lebih penting lagi untuk membangkitkan kejayaannya kembali? Beribu-ribu pertanyaan terlontar dari pikiran Snape yang masih terus berjalan cepat mengikuti laki-laki itu. Ini sama sekali tidak penting, berjalan-jalan menyusuri pepohonan tanpa tujuan yang belum terlihat juga. Untuk apa? Berlibur? Mungkin sebaiknya—

KRAKK!!



Ternyata Snape menginjak ranting pohon yang jatuh ke tanah. Snape panik, ia mencari cara agar tidak terlihat oleh lelaki berjubah hitam itu.

Laki-laki itu curiga. Ia menoleh ke belakang dan… tidak ada siapa-siapa. Ia lalu melanjutkan kembali perjalanannya.

Snape ternyata memakai Jubah Gaib. Ia mencurinya dari Albus Dumbledore secara diam-diam. Ia lalu melanjutkan mengikuti langkah laki-laki itu.

Setelah beberapa menit kemudian langkah laki-laki itu terhenti di depan sebuah rumah sederhana berwarna putih berpagar hitam. Napas Snape tiba-tiba terhenti.

Itu rumah keluarga Potter.

***

FLASHBACK

***


Taman, Inggris 1970

Anak itu bersembunyi di balik semak-semak, takut kelihatan dua anak perempuan yang sedang asyik bermain ayunan secara bergantian itu. Anak itu kurus, rambutnya hitam dan panjang, dan pakaian yang dipakainya sangat tidak serasi. Laki-laki itu tersenyum, mata hitamnya tertuju pada anak yang sedang bermain ayunan dengan setinggi-tingginya.

“Lily, berhenti!” seorang anak perempuan—sepertinya kakak dari anak yang sedang bermain ayunan itu—berteriak kesal. “Jangan berayun terlalu tinggi!”

Lily yang sedang berayun setinggi-tingginya langsung memutar bola matanya.

“Tuney, sejak kapan kau jadi seperti Mummy? Ayolah Tuney, kau harus melihat ini!”

Lily melompat lebih tinggi dari sebelumnya, membuat tali besi yang menopang tubuhnya berdecit. Lily tertawa. Sedetik kemudian ia terbang—tubuhnya tak lagi berada di ayunan itu. Ia melayang dan, alih-alih jatuh, ia mendarat dengan ringan dan mulus.

“Lihat, Tuney? Ini hebat!” Lily memuji dirinya sendiri. Petunia—itu nama aslinya—melipat tangan.

“Mummy sudah melarangmu! Sekarang ayo kita pergi, aku harus memberitahukan ini pada Mummy.” Petunia menarik tangan Lily, berjalan menuju komplek rumahnya. Lily menolak, mencoba melepaskan tangannya dari kakaknya.

Anak berambut hitam dan berminyak itu memandang ragu Lily dan Petunia.

“Tuney, lepaskan! Aku masih ingin bermain!”

Akhirnya anak laki-laki itu melangkah dengan cepat mendekati Lily dan Petunia.

“Akhirnya,” ia berkata, “Ada yang sama denganku.” Lily dan Petunia serempak menoleh heran. Rona merah pada pipi anak itu jelas tak dapat disembunyikan saat ia memandang Lily.

“Apa maksudmu?” Lily bertanya. Anak itu tersenyum.

“Lily…” laki-laki yang memakai jaket kebesaran itu mendekatkan diri pada Lily, dan berbisik. “Kau… kau penyihir.”

Lily memandang bingung wajah anak itu yang tampak kotor. “Be—benarkah?” dan anak berambut hitam itu mengangguk. Petunia yang sedari tadi hanya bengong melihat Lily dan anak Jaket-Kebesaran itu langsung tersadar.

“Hei—siapa kau?” Petunia menarik Lily menjauh dari anak Jaket-Kebesaran. “Oh ya, tentu saja! Kau si Snape. Anak yang tinggal di Spinner’s End di dekat sungai itu, kan?” dari nadanya Petunia kentara sekali memandang rendah tempat tinggal Snape.

“Jadi itu sungguhan, Snape? Dan kau juga penyihir?” Lily bertanya antusias. Pipi Snape kentara sekali memerah, namun Lily tak menyadarinya.

Snape mengangguk keras. “Iya, Lily. Disini hanya kita berdua saja yang menjadi penyihir. Kau tahu? Kita beruntung menjadi penyihir. Kau dan aku dan semua penyihir bisa melakukan apa saja dengan sihir kita.” Kata Snape panjang lebar.

Lily tersenyum girang. “Sungguh? Lalu apa yang harus dilakukan seorang penyihir, Snape?”

Snape tersenyum senang. “Sekolah. Satu tahun lagi kita akan mendapatkan surat dari Hogwarts. Hogwarts itu sekolah sihir. Disana kita akan belajar ilmu-ilmu sihir yang menakjubkan. Mau kuceritakan lebih banyak, Lily?”

Lily menarik tangan Snape untuk duduk di kursi taman, tak memedulikan Petunia yang pergi sambil menggerutu. “Duduk, Snape—ceritakan padaku. Semuanya.”

Dan dengan penuh semangat Snape menceritakan semuanya, membiarkan hatinya berbunga-bunga berhadapan dengan perempuan yang selama ini dikaguminya, dan hanya bisa ia amati dari jauh.

***

Hogwarts, Inggris 1971

Mulut Lily menganga lebar memandang apa yang ada di sekelilingnya. Ia dan Snape baru saja turun dari sebuah kereta merah yang mengkilat bernama Hogwarts Express, dan kini ia sedang berlayar memakai perahu kecil yang muat untuk tiga orang, menyeberangi sebuah danau menuju sebuah kastil megah bernama Hogwarts.

“Terkejut?” Snape bertanya sambil tersenyum. Lily mengangguk keras. Perahu yang ditempati berisi tiga orang, yaitu Lily, Snape dan Peter Pettigrew, salah satu anggota kwartet aneh—menurut Snape—yang diketuai oleh seorang laki-laki bernama James Potter. Snape mendesis pada Peter.

Peter menoleh, lalu tertawa terbahak-bahak melihat kedekatan Lily dan Snape yang sangat terasa.

“Hahaha… Snivellus yang berminyak. Mengerikan.” Peter menunjuk-nunjuk Snape dan tertawa lepas membahana. Lily yang sibuk memandang kagum tidak terusik sama sekali, sampai-sampai tak melihat jari telunjuk Peter Pettigrew yang tadinya digunakan untuk menunjuk-nunjuk jijik Snape, dipatahkan. Sekarang, Snape yang tertawa.

***

Sekarang seorang wanita muda yang mengenakan topi berwarna merah itu memanggil nama murid yang huruf depannya D. Denise, Cynthia. Doorstay, Angel. Lily kelihatan frustasi. Snape tersenyum.

“Evans, Lily!” Lily mendengar namanya dipanggil wanita itu. Dengan gugup ia berjalan menuju sebuah kursi reyot yang diatasnya terdapat sebuah topi jelek berwarna abu yang sudah bolong. Kaki Lily bergetar. Lily menempatkan topi itu di atas kepalanya, dan sedetik kemudian topi itu berteriak, “GRYFFINDOR!” membuat seluruh murid yang duduk di atas meja Gryffindor bertepuk tangan. Lily menoleh pada Snape. Snape menyarankannya untuk berasrama di Slytherin saja, namun topi itu telah menentukan asrama yang tepat baginya. Dan Lily tak dapat menolaknya. Ia tersenyum sedih pada Snape yang langsung menahan napas, dan duduk di sebelah anak-anak kelas satu yang juga baru diseleksi.

Snape? Masa kau tak tahu? Tentu saja dia di Slytherin. Tak ada asrama yang lebih cocok baginya selain itu.

***

Hogwarts Tahun Ketiga, Inggris 1973

Lily berlari secepat yang ia bisa, menerobos hujan deras yang mengguyur ia dan Snape di pinggir danau. Snape yang berusaha mengejarnya di belakang Lily tiba-tiba berhenti karena kelelahan.

“Lily, aku bisa jelaskan semuanya!” teriaknya, berusaha menandingi suara petir yang menggemuruh agar Lily bisa mendengar perkataannya. Lily juga berhenti berlari, membiarkan seluruh tubuhnya dibasahi air hujan yang membesar. Lily tak takut akan petir, ia bahkan mendongak memandang petir itu. Kertas perkamen yang berisi tulisannya basah, tintanya luntur seketika.

Malam itu dipenuhi kebencian. Lily merobek kertas perkamen itu di hadapan Snape, menggulungnya menjadi sebuah bola kecil dan membuangnya ke danau. Airmatanya bercampur dengan hujan yang tak juga mereda. Snape memandangnya putus asa.

“Lily…”

“Apa lagi!? Apa lagi yang akan kaulontarkan padaku?” Lily berseru, memejamkan mata dan memegang dadanya. Snape berjalan mendekat.

“Berhenti! Diam disitu! Aku jijik!” Lily berseru lagi, menekankan dua kata terakhir. Snape terperangah mendengar dua kata itu. J-I-J-I-K. Lily, gadis pujaan hatinya, jijik padanya. Snape menelan ludah.

Lily mencoba rileks. “Aku tak berharap kata kotor itu keluar dai bibirmu itu, Sev. Aku tahu kau bergaul dengan anak-anak itu. Avery, Mulciber, murid-murid kurang ajar calon Pelahap Maut. Apalagi Lucius! Sebentar lagi dia akan keluar dari sekolah ini dan bergabung dengan orang idiot bernama VOLDEMORT!”

“Hentikan mengejek Pangeran Kegelapan seperti itu, Lily!” Snape mendekat dan dengan refleks mengeluarkan tongkat sihir, bersiap memantrai Lily. Lily terperangah kaget. Snape yang menyadari tindakannya langsung mundur dan memasukkan kembali tongkatnya, menunduk.

Darah-lumpur!” Lily mengatai dirinya sendiri. Ia maju mendekati Snape dengan cepat sementara Snape terus mundur. “Tidakkah kau tahu betapa dalamnya makna dari kata itu? Aku! Aku si Darah-lumpur, menjijijkkan seperti sampah!” Lily merangsek maju dan berkata, “Kau bahkan bukan seorang bangsawan Pure-blood, Sev. Kau harus sadar akan hal itu.”

Snape merasa tertohok. Ia tak mampu berkata-kata, dan hanya memandang sedih gadis berambut merah gelap itu pergi menuju asramanya sendiri.

***

Hogwarts Tahun Kelima, Inggris 1975


Hari ini hari natal. Semua murid Hogwarts sedang sibuk membuka-buka kado natal mereka dengan suka gembira di asrama mereka masing-masing. James Potter menghadiahkan Lily sebuah kalung berbandul berlian kecil yang sangat indah. Lily memakainya dan berterimakasih pada James.

“Kau tahu? Aku yang membuat kalung itu. Dan itu khusus untukmu.”

“Terimakasih, James! Maaf sekali, aku lupa memberimu hadiah…” Lily berkata menyesal. James tersenyum licik.

“Umm, kupikir itu tidak bisa diterima, Lily.” James berkata sok serius. “Sebagai gantinya… bagaimana kalau kita makan siang berdua di Three Broomsticks di Hogsmeade? Hmm?” alis Lily tiba-tiba berkerut.

“Maksudmu kencan?”

“Ya… boleh dikatakan seperti itu.” James perlahan mendekati sofa tempat Lily sekarang duduk. Lily membuang muka.

“Cih, dasar gombal.” lalu Lily tersenyum. “Tapi aku sudah ada janji, James. Maaf.”

Alis James terangkat. “Apa? Siapa laki-laki yang telah mendahului aku mengajakmu berkencan?” Dengan santai James duduk di sebelah Lily, membuat Lily bergeser sedikit.

“Sev.”

“Sev, Sev, Sev. Snivellus itu terus saja bersamamu. Apa menariknya dia? Hidung bengkok, muka berbingkai, wajah pucat, dan yang paling mengerikan… rambutnya berminyak! Coba saja kau peras rambutnya… bisa-bisa satu liter minyak keluar perhelainya.” James, Sirius dan Peter tertawa terbahak-bahak. Remus hanya tersenyum kecil.

Lily yang mendengar perkataan James langsung naik pitam. “James Potter! Harus berapa kali kubilang untuk tidak mengejek orang?! Aku bersyukur Sev telah terlebih dahulu mengencaniku sebelum kau.” Lily berseru, dan pergi meninggalkan James, Sirius, Remus dan Peter dengan mendobrak pintu Nyonya Gemuk.

“Sopan sedikit, gadis manis!” Lily masih bisa mendengar Nyonya Gemuk bernyanyi seriosa menegurnya.

***

Aula Besar sesak dipenuhi murid-murid yang sibuk berbincang-bincang dengan teman-teman mereka tentang kado-kado natal dan apa yang akan mereka beli di Hogsmeade nanti.

James Potter, laki-laki tampan berwajah flamboyan itu berjalan dengan ringan dan santai tanpa beban menuju meja murid-murid Slytherin. Murid Slytherin yang sedang makan mulai berbisik-bisik membicarakan James. Terang saja! Untuk apa James Potter, seorang pangeran Gryffindor mendatangi meja Slytherin, musuh bebuyutan Gryffindor yang—menurut mereka—mulia? Sungguh tidak pantas bagi mereka. Mereka memandang James dengan mata mendelik dan terdengar kata-kata seperti ‘untuk apa si jelek itu kesini’ dan ‘pengecut Gryffindor yang aneh’.

Namun James datang kesini bukan untuk bertengkar dengan orang-orang calon Pelahap Maut yang konyol itu. Tujuan James kesini untuk memberi pelajaran bagi orang yang telah mempermalukan dirinya di depan gadis yang sangat ia cintai. Selama ini James belum pernah ditolak berkencan oleh gadis manapun.

“Mencari gadis cantik, Potter?” Avery mengejek James diselingi tawa anak-anak lainnya, membuat James sempat memberhentikan langkahnya dan berpikir untuk meninju Avery. Namun sayangnya James masih ada hal-hal yang lebih penting daripada sampah Slytherin yang busuk, jadi James memilih untuk membiarkan Avery tetap tertawa.

Snape sedang memakan ayam panggangnya dengan tenang dan damai ketika tiba-tiba seorang James Potter menariknya dari kursi dan meninjunya.

***

Lily Evans memandang sedih kedua pipi Severus Snape yang kini telah berwarna ungu di Three Broomsticks. Sementara Snape terus menerus memegangi pipinya yang ungu, Lily memesan dua Butterbeer untuknya dan Snape.

“Ya ampun Sev, aku minta maaf atas perlakuan keji James kepadamu. Sungguh, aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya waktu ia meninjumu.” Lily memegang pipi Snape, membuatnya sedikit berubah menjadi merah.

“Aku tak apa, Lily. Sungguh.” Kata Snape pelan. Memang tak apa asal ada Lily di sebelahnya. Ia memegang tangan putih Lily dan menaruhnya di meja, tersenyum.

Lily membalas tersenyum sedih, lalu meminum Butterbeer-nya. “Minumlah, Sev. Kau akan merasa lebih baik.” Snape mengangguk dan meminum Butterbeer-nya sambil terus memperhatikan Lily yang sedang memegang kalung pemberian James. Tentu saja Snape tak tahu kalau itu pemberian James untuknya.

“Kalung yang indah, Lily.” Snape memuji dengan tulus.

“Terimakasih, Sev! Ini pemberian James. Dia bilang kalung itu khusus dibuatkannya untukku.” Ucap Lily senang, matanya tampak menerawang. Kentara sekali bahwa Lily menaruh hati pada James, membuat Snape minder. “Oh.” hanya itu yang Snape ucapkan. Perih yang luarbiasa telah membuatnya hampir bisu.

Namun Severus Snape tidak menyerah begitu saja. Ia juga telah membawa kado natal yang tidak kalah berkualitas dari kalung buatan James.

“Lily…” Snape berkata gugup. Lily mendongak, tersadar dari lamunannya.

“Ada apa, Sev?” Lily bertanya simpatik.

“Err—mungkin ini tidak penting bagimu, tapi… terimalah ini, Lily.” Snape memberikan Lily sebuah kotak kado berwarna merah muda yang diikat dengan pita berwarna putih. Lily tersenyum bahagia.

“Terimakasih, Severus! Kau baik sekali! Apa isinya ya..?” Lily membuka ikatan pita itu dan membuka tutup kotak kado. Ternyata isinya adalah sebuah syal warna merah yang bermotif bunga Lily. Di bawahnya terdapat sebuah kartu ucapan berwarna ungu. Di dalamnya tertulis “Selamat natal, Lily!” yang ditulis oleh Snape sendiri.

Mulut Lily menganga lebar. Snape tersenyum kecil. “Ya ampun, Severus!” Lily memeluk Snape erat, membuat Snape lemas saking bahagianya. “Aku tak menyangka akan mendapat hadiah sekeren ini!”

“Itu—itu hanya syal biasa, Lily. Tapi aku merajutnya sendiri untukmu.” Snape terdengar semangat sekali ketika mengatakannya.

***

Hogwarts Tahun Ketujuh, Inggris 1977

Hari ini adalah hari terakhir Snape akan satu sekolah dengan Lily Evans. Itu berarti tak akan ada canda tawa, tak akan ada pertolongan saat ia terpuruk, dan lagi tak akan ada sapaan manis Lily Evans, gadis yang sejak dulu dicintainya. Snape sudah tak bisa lagi menahan perasaannya yang selama ini ia pendam. Apalagi saat melihat James Potter si sok pahlawan itu. Snape rasa—Snape rasa ia harus menyatakan perasaannya pada Lily sekarang juga.

Snape berlari sekencang-kencangnya menerobos murid-murid yang sedang bersalaman untuk berpisah, tak memedulikan orang lain. Sekarang yang ada di pikirannya hanya Lily. Dan cinta.

Ia bergegas menaiki tangga menuju ke atas. Asrama Slytherin bertempat di bawah tanah kastil Hogwarts, jadi ia harus menaiki tangga jika ingin kemana-mana.

Ia terus berlari, bertekad menyatakan cintanya dan berharap Lily akan menerimanya ketika langkah kakinya berhenti dengan seketika.

Disana ada James. Dan Lily.

Mereka… berciuman.

Pada saat itu hati snape hancur berkeping-keping, membuatnya menjadi bisu. Membuatnya jatuh ke lantai.

***

Malfoy Manor, Inggris 1980

Snape sedang berjalan mondar mandir memikirkan sesuatu ketika Lucius Malfoy memanggilnya.

“Snape,” Lucius menghampiri Snape, “Kau dipanggil Pangeran Kegelapan.” Lucius tersenyum licik, membiarkan Snape berjalan memasuki pintu yang terbuat dari kayu itu sendirian.

Snape membungkuk dalam di hadapan Voldemort. “Yang Mulia,” katanya, “Merupakan kemuliaan bagi saya untuk—“ namun Voldemort memotongnya.

“Cukup berbasa-basi!” suara Voldemort membahana. Ia berjalan mendekati Snape dengan cepat, wajahnya yang pucat seperti mayat menunjukkan amarah yang besar. “Sekarang cepat katakan padaku… tentang ramalan itu.”

Snape menunduk. “Trelawney… Ramalan itu… Dia—dia bicara tentang anak laki-laki yang yang dilahirkan pada akhir bulan Juli—dia… akan merebut kekuasaan… Yang Mulia.”

“Siapa!?” Voldemort menggeram. Untung saja ia tidak mencekik leher Snape. Kaki Snape bergetar, wajahnya berkeringat dingin.

“D—dua anak… Neville Longbottom… dan… Ha—Harry Potter..”

“Bunuh mereka, Snape—“

“Tidak—maksudku, ramalan itu mungkin saja salah, Yang Mulia…”

“APA MAKSUDMU!?” Voldemort mendorong Snape. “Bukankah semua sudah jelas? Sekarang bunuh kedua anak itu! Bunuh semua keluarga mereka!”

Snape berusaha tetap menunduk, agar tidak di Legilimens Voldemort. “Jangan!—Maksudku kita hanya akan membunuh anaknya saja, kan? Kita tak membutuhkan orangtua mereka—mereka tak penting!”

Namun Voldemort sudah pergi dengan jubahnya, berjalan cepat menyusuri pepohonan rimbun diikuti Snape.

***

Inikah waktunya? Sekarang? Sekarang aku harus kehilangan dia?

Voldemort berjalan pelan, membuka pagar hitam itu dan berkata “Alohomora” secara verbal. Detik berikutnya ia telah membunuh James Potter, orang yang sok keren di masa Snape masih bersekolah dan juga suami dari Lily, wanita yang dicintai Snape. Ia menahan napas. Snape perlahan memasuki rumah dan mengikuti Voldemort ke lantai atas, melangkahi mayat James Potter yang sangat dibencinya.

Di lantai atas sepi, sunyi dan gelap. Hanya ada satu kamar yang terang, di pojok. Voldemort, diikuti amarah yang sangat besar, berjalan lambat menuju kamar terang itu, diikuti Snape dengan jantung yang berdegup amat kencang.

Voldemort memasuki kamar itu. Snape mengikuti dari belakang. Snape melihat wanita itu, Lily Evans, dengan muka terperangah memanggil-manggil nama James suaminya. Ia menggendong seorang balita yang lucu dan menggemaskan bernama Harry Potter, sedang tertawa. Dialah yang dicari Voldemort, balita yang diprediksi akan mengambil kekuasaan sang Pangeran Kegelapan saat ia telah dewasa.

Ramalan macam apa itu? Ramalan itu hanya akan membuat Snape menderita! Ia justru akan kehilangan cintanya! Cinta abadinya!

Sekarang tubuh Snape melemas, keringatnya terus mengucur dari kepalanya. Voldemort mengeluarkan tongkat sihirnya dan mengacungkannya ke arah Lily.

Tunggu.

Inikah? Inikah akhir dari hidup wanita yang kucintai? Tak ada lagi harapan. Pupus sudah. Musnah.

Voldemort berseru, “AVADA KEDAVRA!” dan Lilypun jatuh, seperti boneka yang jatuh saat ditembak peserta di festival-festival. Jatuh dengan ringan.

Tapi, apakah kalian percaya?

Sebelum Lily benar-benar kehilangan nyawanya, sebelum ia jatuh dengan mudahnya, Lily menoleh ke arah Snape. Ia menyadari kehadiran Snape disitu.

Dan Snape, Snivellus Sev yang bodoh, ia menghilang saat itu juga.

FIN~~


Oke oke, tenang. Sebelumnya jangan timpuk saya dulu kalo ternyata eni fic ancur. Sori~ sebenernya Lala mau bikin poem, tapi karena rayuan maut (enggak juga sih, hehe) mbak Lia dan Dindotha, jadilah sayoh membuat fic dalam kurun waktu dua hari! wakakak.. Kritik, saran, sambel pedes silahkan review. hahah~

0 comments: