Fan Essay by Thiea Arantxa
Link asli ada di sini
Severus Snape:
“Pride, Prejudice, Perseverance”
“Pride, Prejudice, Perseverance”
A fan essay by Thiea Arantxa
for Snape Day
Sebut saya ndeso, sebut saya kurang gaul, tapi saya memang baru saja menonton Pride and Prejudice pada bulan Desember 2011 lalu. Ya, Pride and Prejudice yang itu, novel karangan Jane Austen yang diterbitkan tahun 1813. Namun setelat-telatnya saya, ada satu hal yang saya sadari dan terus-terusan menghantui saya selama berminggu-minggu berikutnya sampai akhirnya saya memutuskan untuk menulis fan essay ini: karakter pria utama di novel itu, Fitzwilliam Darcy, sangat amat teramat mirip dengan Severus Snape!
Setelah saya melakukan sedikit riset di beberapa forum di dunia maya, ternyata saya tidak sendirian. Cukup banyak orang yang beranggapan bahwa Mr Darcy memang mirip dengan sang Ahli Ramuan itu. Ditengok dari segala sudut, dan setelah film Pride and Prejudice ditonton ulang berkali-kali, saya semakin yakin pada kemiripan itu. Pemahaman ini membawa saya kembali merenungkan plot besar kisah Harry Potter, peranan sang pria serbahitam dengan hidung bengkok itu di dalamnya, dan nasib semua tokoh yang dipengaruhi olehnya.
Karena setiap tetes air mata pembaca untuknya tidak pernah sia-sia.
Part 1: Pride
Fitzwilliam Darcy, digambarkan oleh Jane Austen, sebagai a cold and aloof rich man. Kaya dan terkenal, namun luar biasa dingin dan seolah menarik diri dari keramaian. Mengenakan jas hitamnya seperti biasa ke mana-mana. Menampilkan ekspresi wajah yang datar dan terkesan sangat arogan. Sangat jarang berbicara, namun sekali ia berbicara, terdengarlah kata-kata yang sinis. Dalam pertemuan pertamanya dengan Elizabeth Bennett, Mr Darcy dianggap miserable, karena wajahnya nyaris tak memiliki ekspresi. Tak bisa ditebak.
Oh, deskripsi di atas sungguh familiar, ya?
Severus Snape adalah satu dari sedikit karakter yang kita tahu berpenampilan dan berpembawaan seperti demikian. Snape dan Darcy sama-sama memiliki sifat tersebut—mungkin tidak terlalu mirip secara fisik, melainkan kepribadian dan cara mereka berinteraksi dengan lingkungan—pride. Yang membuat mereka mampu berjalan dengan dagu terangkat dan mata yang menyorot kosong. Yang membawa keduanya mengarungi lautan arogansi tanpa akhir. Di dalam hati mungkin teramat lembut, namun wajah yang membatu itu tidak mencerminkan sama sekali. Terlebih Snape—yang sudah ditinggal mati oleh orang yang dicintainya selama enam belas tahun sebelum akhirnya ia menyusul—tak ada gelombang kelembutan yang ia pancarkan, semuanya meresap dan terkunci rapat di dalam hati. Mr Darcy lebih beruntung daripada Snape dalam hal ini.
Apakah pride ini mempengaruhi kehidupan mereka? Ya, sangat.
Karena pride bukan hanya masalah pencitraan dari luar. Mengapa tembok yang memblokade pikiran Severus Snape begitu kokoh dan tahan gempuran? Mengapa ia begitu misterius dan tak tertebak? Sikap untuk menjunjung pride telah mengaplikasikan diri dengan begitu rupa di dalam dirinya, membuatnya begitu egosentris—dalam hal ini, semua yang ia pikirkan dan rasakan hanyalah miliknya seorang. Dan hanya ia yang boleh tahu.
Mengapa?
Karena baginya, takkan ada yang mengerti.
Secara psikologis, kita mengenal proses ini kemungkinan besar sebagai hasil dari suatu peristiwa yang tidak menyenangkan di masa lalu seseorang, yang membuatnya menarik diri dari lingkungan sosialnya. Kita tahu Severus Snape menghadapi episode menyakitkan terhadap tubuh emosionalnya di tahun-tahun di masa lalu: masa kecil yang tak menyenangkan, orangtua yang miskin dan ayah yang abusive; penampilan yang diolok-olok oleh siapa pun, baik oleh penyihir maupun Muggle; ketertarikan pada Ilmu Hitam yang membuatnya semakin ditakuti oleh teman-temannya, bahkan sesama Slytherin sekalipun. Lalu ia jatuh cinta pada sahabat masa kecilnya, satu-satunya orang yang betul-betul ia percaya... yang kemudian menikah dengan orang lain yang selalu menyiksanya selama tujuh tahun pendidikannya di Hogwarts. Jalannya semakin terpisah jauh dari sang wanita yang dicintai, dan pada satu titik, secara tidak langsung, ia menjadi penyebab kematian sang wanita. Dan anak wanita itu berwajah begitu mirip dengan sang musuh bebuyutan semasa sekolah. Persis.
Wow. That sucks.
Saya tidak begitu tahu bagaimana keadaan masa lalu Mr Darcy (karena belum membaca novelnya, dan pencarian di internet tidak berhasil memberikan informasi mengenai hal tersebut), namun dapat kita simpulkan bahwa pride tidak muncul begitu saja dalam diri seseorang, sekali jadi. Snape telah melalui banyak hal yang memoles dan menempa dirinya, dan jika kita mengenalnya, berbicara dengannya, memahaminya—seperti Albus Dumbledore yang memercayainya—kita tidak akan melihat Snape sebagai sosok yang sama lagi. Tak ada lagi sang guru Ramuan yang mengerikan dan pria sombong yang selalu menghina. Tak ada lagi manusia sok pintar yang sepertinya selalu merendahkan orang lain dan hidup penuh dendam itu.
Yang ada hanyalah dirinya, Severus Snape, murni, dengan segala kelemahannya yang dengan senang hati kita tolerir.
Part 2: Prejudice
Dalam Pride and Prejudice, bagian prejudice sendiri merupakan milik Elizabeth Bennett, sebagai karakter wanita utama sekaligus love interest Mr Darcy. Sikap Mr Darcy yang dingin dan gaya bicaranya yang agak menyebalkan ternyata membangun prasangka-prasangka buruk dalam hati Elizabeth terhadapnya. Kesombongan Mr Darcy sendiri sudah membuat gadis itu tak ingin bertemu dengannya di lain kesempatan, namun kemudian rumor-rumor yang sampai ke telinga Elizabeth membuatnya semakin membenci pria itu.
Kabarnya, Fitzwilliam Darcy menggagalkan pernikahan kakak Elizabeth dengan seorang bangsawan kaya yang merupakan sahabat karibnya sendiri. Kabarnya lagi, Mr Darcy memperlakukan saudara angkatnya dengan sangat buruk dan berdasarkan iri hati. Kabarnya, kabarnya, kabarnya. Kabarnya, Severus Snape berpihak pada Lord Voldemort.
Siapa yang tidak bisa memercayai ‘kabar’ itu? Oh, lihat, segala tindakan yang dilakukan Snape memberikan keberhasilan bagi kinerja Pelahap Maut. Lihat bagaimana ia berbicara dengan begitu meyakinkan kepada Bellatrix Lestrange, tangan kanan Pangeran Kegelapan? Lihat bagaimana ia kelihatan memuja penjahat sihir itu? Lihat bagaimana ia membunuh Albus Dumbledore? Sudah jelas, gosip-gosip itu pasti benar!
Sebagai penikmat buku-buku Harry Potter, kita menghakimi Severus Snape pada awalnya. Tapi apa yang terjadi kemudian? Ketika kebenaran akhirnya terungkap, Snape tak mampu lagi bertahan hidup. Rahasia bahwa selama ini ia melakukan segalanya demi Lily Evans, bahwa ia selalu melindungi putra Lily, bahwa ia mengupayakan segalanya dan mengorbankan dirinya demi keselamatan dunia sihir. Kita menangis saat tiba pada chapter ‘The Prince’s Tale’, tapi kita tak bisa berbuat apa-apa... laki-laki itu sudah mati.
J. K. Rowling mungkin telah memberikan beban sedemikian besar kepada seorang karakter yang sudah menderita sejak awal. Pada titik tertentu, saya kadang berpikir bahwa penulis yang satu ini sungguh kejam—namun kemudian saya menyadari bahwa Rowling hanya sedang membuat cerita yang sangat manusiawi. Kapan lagi akan kita temukan kisah yang begitu jujur dan emosional? Rowling tidak memberi cerita yang muluk-muluk kepada pembacanya. Ini perang. Banyak sekali tokoh yang mati. Banyak air mata dan darah. Dan tentu saja—duka yang dialami Snape adalah sangat manusiawi, dan kalau Rowling tidak memberikannya luka yang sedemikian dalam, mungkin ia belum pantas kita sebut sebagai pahlawan.
Kisah Mr Darcy dalam kaitannya dengan prejudice memanglah tidak segelap dan sesedih Snape. Memang, ia difitnah. Namun sebagian dari rumor itu memang benar—ia menggagalkan pernikahan kakak Elizabeth tersebut dan ia menyadari bahwa perbuatan itu salah. Seperti Snape, yang sejak awal telah telanjur bergabung dengan Pelahap Maut. Namun apa yang mereka lakukan? Mereka memperbaiki kesalahan itu, bukan dengan meminta maaf dan melupakannya, namun dengan keringat dan usaha yang jelas, dan yang paling penting, tidak diumbar-umbar.
Mr Darcy akhirnya menyatukan kembali dua pasangan yang hampir gagal menikah tersebut, dan ia juga membantu adik Elizabeth untuk menikah dengan pria pilihannya—dan upaya itu dirahasiakan dari siapa pun. Sebuah pengorbanan yang tak perlu disebarluaskan, tak butuh pujian. Severus Snape melanjutkan hidup dalam identitas palsu, membiarkan semua orang percaya bahwa dia adalah orang bengis. Bahkan mungkin, semua yang ia lakukan itu belum cukup. Sekadar berkorban sampai mati mungkin belum cukup untuk menebus rasa bersalahnya terhadap cinta yang telah binasa itu.
Terkadang, sebuah prejudice salah kaprah harus dibayar dengan darah.
Part 3: Perseverance
Perbedaan antara Pride and Prejudice dan Harry Potter tentu saja sangat jelas. Mulai dari genre, setting, penokohan, tema yang diangkat, hubungan antarkarakter, semuanya sangat amat berbeda. Karakter Mr Darcy dan Severus Snape dibangun dalam dua dunia yang tak sama, meskipun mereka sama-sama pecinta. Dan dalam hal cinta sendiri, tampaknya salah satu dari mereka lebih beruntung dari yang lain.
Setelah melalui kemelut panjang dalam percintaannya, akhirnya Mr Darcy berhasil meminang Elizabeth Bennett. Gadis itu telah mengenalnya dan dapat melihatnya di balik topeng pride, dan segala prejudice terhadapnya telah terbukti keliru. Dan mereka menikah, hidup bahagia, tamat. Berbeda dengan Severus Snape, yang nasibnya—sayang sekali—tak sebaik itu. Ya, kita semua sudah mengetahui kisah Snape, dan kita semua sudah menangis bersamanya.
Mulai dari sini, mari kita tinggalkan Jane Austen sejenak dan berbicara tentang J. K. Rowling. Khususnya, mengenai karakter agen ganda yang ia ciptakan ini.
Kita melihat Severus Snape sebagai tulang punggung dari plot Harry Potter, karena ia adalah sang penentu keadaan. Penyebab, sekaligus memiliki peran penting dalam penyelesaian masalah. Kita tahu banyak sekali tokoh penting dalam kisah ini, dan jelas, tanpa Severus Snape, tak akan ada Harry Potter. Karakter yang satu ini dihidupkan dengan cukup lengkap, didramatisasi dengan baik, dan sungguh, sungguh manusiawi. Beberapa orang menganggap Snape terlalu berlebihan terhadap cintanya, namun bagaimanapun, when it comes to a broken heart, some people get over it, some people just don’t.
Tak ayal lagi, Snape adalah tokoh dengan tingkat perseverance tertinggi dalam cerita ini. Kerja keras dan ketahanan yang tak terbayangkan. Kesabaran dan komitmen yang luar biasa. Kalau ada satu hal yang layak dipuji darinya—di antara seluruh kebaikan yang telah ia upayakan—maka perseverance adalah jawabannya. Manusia yang satu ini sangat tangguh dan mencengangkan. Tak banyak orang yang dapat mempertahankan kestabilan dirinya dengan begitu rupa dalam situasi yang tidak memungkinkan. Namun bagi Snape, hal itu mungkin.
Ia begitu kuat. Dan ia mengajarkan kepada seluruh dunia bahwa kejujuran terhadap diri sendiri adalah kunci utama dalam menyelesaikan segala macam tantangan, bagaimanapun rupanya. Ketika orang lain jatuh, ia bertahan. Tidak, kalimat itu bukan kutipan dari ramalan Trelawney, namun Snape memang menunjukkan kemampuan yang mungkin belum dimiliki oleh kebanyakan orang, namun sangat layak kita tiru. Kekuatan terbesar datang dari diri kita sendiri, bukan dari materi, bukan dari sugesti orang lain, bukan dari siapa pun. Maka kuatlah.
Kehidupan Snape yang begitu kompleks dijabarkan oleh J. K. Rowling dalam berbagai perwujudan sikap—di antaranya pride, prejudice, dan perseverance yang saya bahas kali ini. Ketiganya menunjukkan bahwa ia adalah manusia, memiliki kelebihan dan kekurangan, dan ia bertahan. Kita tidak butuh pahlawan tampan yang tak pernah berbuat kesalahan. Kita tidak perlu melihat cerita cinta yang selalu berakhir menyenangkan bagi kedua belah pihak. Rowling—lewat Harry Potter—menunjukkan arti realita yang sesungguhnya pada kita. Bahwa orang baik tidak selalu menang. Dan kejahatan tidak bisa dilawan hanya dengan niat dan teori yang dibahas berulangkali.
Bagi saya sendiri, Harry Potter, dan khususnya karakter Severus Snape, telah ambil bagian dalam pendewasaan diri saya. Saya mulai hidup bersama mereka sejak usia delapan tahun, sampai filmnya berakhir di usia saya yang kesembilan belas. Sekali lagi, saya akan mengulang baris yang pernah saya tuliskan dalam fanfiksi saya yang berjudul Tuney’s Secret, yang tertulis pada nisan makam Snape: “The greatest sacrifice is a sacrifice that ends here.”
Snape—yang diperankan sangat baik oleh Alan Rickman—adalah tokoh fiktif yang sangat patut dikenang. Patut diambil sisi baiknya, dan kita patut belajar dari kesalahan-kesalahannya.
Dan setiap kita menghadapi masalah yang membuat kita ingin mencabik-cabik diri kita sendiri—ingatlah padanya dan apa yang telah ia lakukan.
Ingatlah Severus Snape, pria yang hatinya bertahan hidup
1 comments:
Selalu terkesan tiap kali mendengar cerita tentang 'Snape'.
Artikel yang bagus bro !
:)
Post a Comment