I'm Sorry
Written by: Oxenstierna N.S (saya Chibiusa kalau pada masih ingat)
Disclaimer: JKR
Characters: Severus Snape, OC
Note: FF ini dulu pernah saya hapus beberapa bulan lalu karena suatu alasan dan banyak yang saya perbaiki lagi setelah saya baca ulang. Ini untuk Snape Day, maaf kalau kecepatan karena tanggal 9-15 belum tentu saya bisa OL karena tanggal segitu saya sibuk. Happy birthday, Snape biar kecepetan.
.
.
.
Severus Snape, begitulah dia dipanggil. Pria yang pendiam dan berbahaya bagi yang berurusan dengan pria ini karena dia adalah seorang Pelahap Maut kesayangan Pangeran Kegelapan sendiri yang tak lain dan tak bukan adalah Lord Voldemort. Membunuhi muggle-muggle merupakan pemandangan biasa bagi Pelahap Maut walaupun Snape merasa sakit setiap melihatnya. Apalagi jika korbannya adalah anak-anak di bawah umur. Memang Snape bukan pecinta anak-anak karena dia sangat membenci anak-anak, tetapi setiap melihat penyiksaan anak, hatinya bagai teiris-iris karena hal itu mengingatkan akan dirinya ketika dia masih kecil.
Dia tidak tahu lagi bagaimana harus menghentikan semua jenis penyiksaan yang ditujukan kepada anak kecil.
"Snape," perintah sang Pangeran Kegelapan. "Kau tahu apa yang kuinginkan?"
Snape membeku di tempatnya. "Apa maksudmu?"
"Kau tahu apa yang aku inginkan, bukan," Pangeran Kegelapan mendesis. Snape tersedak, tahu apa yang akan diperintahkan kepadanya.
Dia tidak tahu lagi bagaimana harus menghentikan semua jenis penyiksaan yang ditujukan kepada anak kecil.
"Snape," perintah sang Pangeran Kegelapan. "Kau tahu apa yang kuinginkan?"
Snape membeku di tempatnya. "Apa maksudmu?"
"Kau tahu apa yang aku inginkan, bukan," Pangeran Kegelapan mendesis. Snape tersedak, tahu apa yang akan diperintahkan kepadanya.
.
.
Lalu Snape duduk di taman bermain sekedar untuk menghilangkan perasaan sedih akan pembunuhan yang dilihatnya. Ini memang resikonya bila berurusan dengan Pangeran Kegelapan, pembunuhan ataupun penyiksaan merupakan hal yang biasa-biasa saja bagi sang Pangeran Kegelapan. Awalnya Snape memang berusaha kuat menghadapinya, tetapi lama kelamaan batinnya sama sekali tidak kuat dan tanpa sadar dia menitikkan air mata. Karena dia yang ditugaskan untuk membunuh anak-anak yang tidak berdosa itu.
Jangan sampai anak-anak yang tidak berdosa itu menjadi korban selanjutnya. Tuhan, aku sama sekali tidak kuat. Siapapun hentikan aku.
"Paman, mengapa paman menangis?" suara anak perempuan bertanya kepadanya.
Snape tercengang melihat dua anak kembar, laki-laki dan perempuan, sepertinya berumur sekitar 6-7 tahun. Merasa malu ditanya seperti itu oleh anak tersebut, Snape buru-buru menyeka air matanya lalu memandang mereka dengan mata berbahaya. Biasanya pandangannya akan membuat sebagian orang lari terbiri-birit tetapi dua anak ini berbeda, mereka sama sekali tidak kabur, malahan mereka malah bertanya sesuatu. Itu yang membuat heran.
"Paman merasa ada banyak beban di pundak?" tanya anak laki-laki itu dengan polos.
"Bukan urusanmu," Snape menjawab dengan ketus.
"Kenapa mesti ada beban di pundak? Kami berdua selalu bersenang-senang," tambah sang anak perempuan yang selalu berdekatan dengan anak laki-laki tersebut.
Dasar anak-anak, yang ada dipikirannya hanya kesenangan saja. Tanpa memikirkan realita yang akan dihadapi di masa depan nanti.
"Namanya juga orang dewasa, banyak masalah. Nanti kalau kau sudah dewasa kau akan merasakan hal semacam ini. Kalau kau ingin tahu," balas Snape dengan nada sarkastis.
"Kenapa mesti banyak masalah kalau orang dewasa?" tanya anak laki-laki tersebut dengan polosnya.
"Sudahlah, jangan begitu. Tapi jika melihat cara bicara paman, paman sepertinya orang yang banyak beban," anak perempuan itu menyambung pembicaraan anak laki-laki tersebut. Snape berjengit.
Anak ini, apa yang ada di pikirannya. Mengapa dia bisa tahu aku memiliki beban di dalam diriku. Siapa sebenarnya mereka?
"Ah maaf, kami terlalu banyak bicara. Kami seharusnya tidak bertanya macam-macam. Aku Parole dan ini adik kembarku, Bianca," anak laki-laki yang bernama Parole itu berkata.
"Baiklah, aku Severus Snape. Panggil aku Snape saja," katanya tanpa mengacuhkan dua anak tersebut.
"Salam kenal ya, Snape," Bianca berkata dengan polosnya lalu berlari ke suatu tempat. "Aku pergi dulu sebentar dan Anda harus tunggu di sini."
Anak kecil memang makhluk yang paling polos dan murni, hanya saja orang dewasa tega merusaknya, seperti Pangeran Kegelapan dan ayahnya dulu.
Sejenak Snape berpikir seperti itu, tiba-tiba anak perempuan yang bernama Bianca datang sedang membawakan es krim lalu memberikan es krim itu kepada Snape. Snape menatap anak itu dengan raut wajah yang bingung.
"Mengapa kau berikan es krim itu padaku?" tanya Snape dengan wajah bingung.
Bianca dengan polosnya menjawab," Sebagai tanda persahabatan."
Wajah Snape memerah mendengarnya, baru sekali ini ada anak kecil sepolos dia berkata seperti itu. Apa yang dia lakukan sehingga anak kecil saja mau berdekatan dengan pria yang baru saja di kenalnya.
"Takut padaku?" tanya Snape menantang.
Bianca dan Parole menggelengkan kepalanya. "Untuk apa aku merasa takut. Anda orang yang baik."
.
.
Hari demi hari, bulan demi bulan, Snape menjadi lebih sering ke taman bermain. Bila tidak ada pertemuan antar Pelahap Maut, Snape biasanya sering menemui mereka pada siang hari. Sesekali mereka bermain bersama yang sebenarnya merupakan permainan anak-anak yang tidak cocok untuk dimainkan dirinya. Tetapi hal seperti ini tidak mungkin berlangsung lama.
"Snape terlihat lebih ceria ya," timpal Bianca.
"Kalau seperti ini, Snape tidak begitu menakutkan. Malah terlihat baik," sambung Parole.
"Hei," Snape berkata. "Aku tidak bisa tiap hari ke sini. Mungkin untuk seterusnya."
"Kenapa?" tanya Parole ingin tahu.
Snape tidak menjawab pertanyaan mereka karena Snape diperintahkan oleh Pelahap Maut senior untuk membunuh kedua anak tersebut dan juga anak yang lainnya. Tidak mungkin menghindar akan perintah ini karena nyawanya merupakan taruhannya yang terbesar. Yang bisa dilakukannya adalah berusaha melindungi mereka agar tidak terbunuh oleh Pelahap Maut.
Dan ini juga untuk anak-anak lainnya.
.
.
Saat itu telah tiba, dimana Pelahap Maut senior itu bertanya padanya apakah dia sudah membunuh anak-anak tersebut dan Snape hanya menjawab bahwa dia belum membunuh anak tersebut.
"BELUM KATAMU! PELAHAP MAUT MACAM APA KAU INI!" raung Pelahap Maut yang bernama Lestrange tersebut.
"Maafkan aku, Lestrange. Pada saatnya tiba aku akan membunuhnya," kata Snape dengan nada tidak yakin.
"Aku sama sekali tidak mau tahu! Apapun yang terjadi, kau harus membunuh anak tersebut!" kata Lestrange.
Bianca, Parole. Maafkan paman, paman terpaksa harus membunuh kalian. Paman merasa hati ini sakit sekali bila mengingat paman harus melakukan ini.
.
.
.
Sejak itu, Snape sering sekali menghindari mereka berdua dan mulai jarang bermain ke taman bermain tetapi mereka masih tetap ke sana untuk mengintip mereka.
"Belakangan ini Paman Snape jarang muncul, ada apa gerangan?" tanya Bianca.
"Mungkin Paman Snape sedang bekerja, kan dia pria dewasa," jawab Parole asal-asalan.
Snape yang berada di balik semak-semak, diam-diam merasa terharu akan perhatian yang diberikan anak kembar tersebut. Ingin rasanya Snape memeluk mereka sebagai tanda sayangnya terhadap mereka. Tetapi, sebagai pria yang kaku, tidak mungkin menunjukkan hal itu pada mereka, bukan.
Beberapa bulan kemudian, Pangeran Kegelapan memerintahkan anak buahnya untuk membunuh anak-anak, salah satunya adalah dua anak kembar tersebut.
Dan didengarnya pula kabar bahwa Bianca dan Parole terbunuh bersama 100 anak lainnya.
Snape menghela napas, wajahnya pucat. Antara tidak percaya maupun terkejut. Air mata membasahi wajahnya yang pucat. Rasanya menyakitkan sekali, lebih daripada yang bisa Snape bayangkan.
Snape sudah pernah kehilangan wanita yang dicintai dan juga disayanginya. Relakah dirinya kehilangan teman yang disayanginya.
"Maafkan aku."
FIN
0 comments:
Post a Comment