Monday, 10 January 2011

Jigsaw: Story of Prince and King by ficfan91

Link yang asli ada di sini
Fic ini multichaptered, dan hanya bab 1 yang dimuat di blog ini. Sila membaca link aslinya untuk membaca keseluruhan cerita




J I G S A W

oleh ficfan91
.


--------------------------------------------------------------------------------

Disclaimer: I own nothing here. All names and characters, places, all of them, belong to JK Rowling, Warner Bros company, Electronic Arts, and many others. I just own the plot. There's no money making here.

Summary: Puluhan tahun perang telah berlangsung di daratan Eropa, menyebar di seluruh dunia, perlahan-lahan menutupi langit dengan debu pertempuran hingga matahari nyaris tak bersinar. Dua orang, satu telah menjalani ratusan pertarungan tak terhitung selama sepuluh tahun lebih, dan satu mengangkat tongkat sihirnya demi alasan yang jauh berbeda, bertemu di dalam dunia yang nyaris runtuh ini. Pertentangan, masalah, dan konflik terus menyertai, namun demi menyelesaikan semua ini, mereka rela melakukan apapun.

Karena mungkin takdir dunia memang berada di tangan mereka berdua.

A/N: Pertama-tama, terima kasih kepada enembee, atas ide mengenai dunia ini, dunia dimana peperangan telah berlangsung selama puluhan tahun, sebagaimana yang telah dia tuangkan dalam fic-nya, The Skitterleap. Terima kasih atas izin yang telah kamu berikan, dan sesuai janji, aku telah mencantumkan namamu di sini (Happy now? Haha ^^). Aku mengubah dunia itu sedikit, meskipun ide aslinya tetap sama: Ini adalah dunia dimana Grindelwald yang memenangkan duel, antara dirinya dan Dumbledore.

Kemudian, fic ini ditulis untuk SnapeDay . Terima kasih kepada Ambudaff karena telah mengadakan Event ini, semoga fic yang kutulis tidak terlalu jelek untuk mengisi Event bergengsi ini. Aku sebelumnya minta maaf, jika ternyata fic ini terlalu jelek, tidak memuaskan, dan jauh di bawah kualitas yang diinginkan.

Sesuai dengan peraturan di Infantrum, Fic ini masuk ke kategori Reguler, Multichapter. Update akan kulakukan seminggu sekali, Insya Allah akan selesai sebelum tenggat waktu 16 Januari.

Warning: Ini adalah sebuah AU fic, sangat AU, mungkin ter-AU dari semua yang pernah Anda baca di Fandom Harry Potter Indonesia. Kemungkinan besar akan lebih AU dibandingkan dengan bahkan Pieces. Ini adalah warning terbesar untuk Anda semua, agar Anda mendapatkan gambaran mengenai apa yang akan Anda hadapi. Sebagian besar cerita yang akan ada di fic ini hanya akan menyentuh Canon sedikit sekali. Karakter jelas seluruhnya berbeda, atau, dalam bahasa fic, OOC. Ini adalah peringatan pertama dan terakhirku mengenai hal ini. Jangan membaca ini jika Anda tidak menyukai dunia yang sangat AU.

Enjoy, read, and review, please



.


--------------------------------------------------------------------------------

BAB I

.

.

Udara selalu dingin di Inggris pada musim gugur.

Ah, tapi mungkin bukan karena musim. Tapi memang karena atmosfir bumi sudah tertutup oleh banyak sekali debu pertempuran, hingga matahari tak lagi sanggup menghangatkan permukaan kulit dunia yang dihuni oleh milyaran makhluk hidup.

Dan, di sore hari ini, di bawah kelabunya langit, seorang pria muncul begitu saja, mendarat di tanah bersama dengan gumpalan asap hitam yang menyelimutinya. Dia berjalan cepat, mengacungkan tongkatnya, dan mengayunkannya kepada pagar besi tinggi yang berdiri dengan sangat kokoh di depannya, ujung-ujungnya yang tajam menjulang kejam ke langit yang kelabu.

Dia tidak berhenti, dia berjalan menembus pagar besi tersebut seolah pagar tersebut hanyalah asap belaka. Derit keras terdengar saat dia melewatinya, jubahnya berkelebat di belakangnya, angin bertiup kencang menyambutnya.

Tapi dia tidak berhenti berjalan, dan setelah beberapa detik, angin tersebut berhenti.



Pertahanan diturunkan, sihir yang menjaga tempat tersebut telah mengenali siapa pria itu.

Dia memasuki ruang tamu dengan mudah, pintu kayu berukir membuka begitu saja saat dia mendekat. Dua penyihir berseragam yang berdiri di dalam ruangan, di samping kanan-kiri tangga, masuk ke posisi siap dan menghormat kepadanya. Dia tidak menghabiskan tenaga untuk membalas menghormat.

Ada hal lain yang telah menunggunya, jauh lebih penting daripada dua prajurit rendahan.

Mencapai lantai paling atas, dia sampai di sebuah ruangan luas. Ruangan ini memiliki dinding berwarna hijau, dengan satu meja sangat panjang dan kursi-kursi di sisi kanan-kirinya. Sejenak dekorasinya terkesan seperti sebuah ruang makan raja-raja, atau orang-orang keturunan bangsawan kolosal. Perapian menyala di sisi kanan ruangan, menjadi sumber cahaya sekaligus satu jalan keluar yang sangat praktis dan cepat.

Getaran pelan dapat dirasakan saat pria itu melangkah memasuki ruangan tersebut. Dia mendongak, melihat aliran sihir yang seperti air beriak di sepanjang dinding ruangan. Dia menggeleng-geleng pelan. Keamanan di dalam ruangan tersebut menyamai pengamanan yang ada di sepanjang kastil Durmstrang.

"Ah, Severus." Sebuah suara terdengar dari salah satu sudut ruangan. "Kamu terlambat."

"Maafkan aku," kata Snape dengan segera. "Misi untuk melindungi Shevchenko tak berjalan dengan lancar. Konvoi diserang di tengah jalan oleh rombongan teroris di Chernivtsi."

"Jadi para teroris itu masih ada," kata suara tersebut. "Sesuatu yang sudah kuduga, meskipun aku tak menyangka mereka akan mencoba mencegat konvoi perdana menteri Ukraina seperti itu."

"Aku juga tidak menyangka sama sekali. Shevchenko sendiri terluka sangat parah, dan jumlah kami direduksi menjadi separuh hanya dalam satu serangan mereka," ujar Snape. "Aku harus mempertahankan konvoi cukup lama, sampai bala bantuan tiba."

Suara mendengus. Dan suara geli, yang berkata, "Mereka beruntung kamu ada di sana, kalau begitu, Severus."

Snape tidak menjawab. Tidak, pujian memang tidak dimaksudkan untuk dijawab ataupun dibalas dengan "Terima kasih" kepada si pemuji. Apalagi jika yang mengatakan adalah pemimpin besar dari semua gerakan selama ini, yang telah dia lakukan selama bertahun-tahun. Tidak bisa.

Keheningan menerpa kedua penghuni ruangan tersebut. Matahari tampak terbenam di kejauhan, kembali ke balik cakrawala. Akhirnya, suara itu menghela napas.

Dan pemiliknya melangkah keluar dari bayang-bayang kegelapan.

Seorang pria, dewasa, dengan wajah dan penampilan muda dan segar. Wajah tampan dan sepasang mata hijau tampak samar, efek dari cahaya dari perapian yang tidak konstan dan senantiasa menari. Rambut hitam yang dipotong pendek, disisir rapi dan lurus. Jubah hitam dengan kancing yang dipasang hingga ke atas, bersama dengan emblem berwarna kuning dijahit di dada sebelah kiri. Sarung tongkat terpasang di pinggangnya, tersingkap selagi dia berjalan.

Tom Riddle adalah orang yang sangat disegani, mengenai hal itu Snape sudah mengetahuinya sejak pertama kali bertemu dengannya. Namun tetap saja setiap kali berhadapan dengannya seperti ini, perasaan segan tersebut tak pernah berkurang. Malah terasa bertambah.

Mungkin ada hubungannya dengan jumlah pertempuran yang tak terhitung lagi, wajah-wajah yang dan nyawa yang telah dia cabut dengan mudahnya di sepanjang pertempuran Benua.

"Yang penting, kamu tetap terlambat. Dan aku menginginkan agar kamu bisa selalu tiba di sini tepat waktu dalam setiap pertemuan denganku, Severus," kata Riddle. Nadanya tidak dingin, tidak terdengar marah, namun tegas dan penuh akan kekuatan belaka.

"Siap," jawab Snape.

Lagi, keheningan menyelimuti. Suara-suara baru muncul kembali saat Riddle melangkah maju, sepatu bot kulit naganya yang keras menimbulkan suara di sepanjang tapakannya, dan Snape setengah heran permukaan lantai tidak terbelah di bawah kaki Riddle. Dia berhenti di dekat jendela yang menampilkan cahaya matahari, yang nyaris lenyap seluruhnya.

"Mata-mata yang kita tempatkan di bawah kastil Durmstrang sendiri telah memberi kita kabar," kata Riddle. "Sebuah kabar yang cukup signifikan juga."

Snape mengernyit sedikit. Mata-mata yang mereka tempatkan di bawah kastil Durmstrang? Tepat di bawah atap Kaisar sendiri? "Saya tidak tahu kita menempatkan mata-mata di sana," kata Snape.

Riddle mendengus. Dia menoleh kepadanya, senyumnya normal dan lepas, seperti pria biasa. Pemandangan yang sangat mengganggu, sesungguhnya.

"Kamu jelas tidak tahu, Severus," kata Riddle. "Mereka adalah Weasley."

Alis Snape melompat tinggi ke rambutnya yang panjang. Weasley?

"Weasley... Kembar?" tanya Snape pelan.

Riddle mengangguk. Melihat anggukan tersebut, Snape tercekat sedikit. Mana mungkin mereka...

"Yang kutahu mereka berdua pengkhianat," kata Snape. "Anggota tim penyiksa di bawah kaisar sendiri, dua orang yang menangkap serta menyiksa Doge hingga tewas?"

"Benar. Mereka berdua menjalankan tugas mereka dengan sangat baik," kata Riddle, nada puas terdengar dari dirinya.

Snape menahan napasnya, sementara jantungnya berdebar dengan kencang. Kedua Weasley kembar tersebut sudah terkenal sejak tahun pertama mereka datang ke Hogwarts. Dia sendiri yang telah menyaksikan, apa saja yang sanggup mereka lakukan dan tega mereka timpakan kepada teman-teman seangkatan mereka sendiri. Semua ledakan dan korban kritis tersebut...

Dia masih ingat, bagaimana kisah mereka berdua melarikan diri dari Hogwarts, salah satu kubu sihir kuno terkuat di Eropa. Kisah pelarian yang legendaris, sekaligus sangat menusuk. Pelarian mereka menghancurkan hati keluarga Weasley, apalagi begitu mendapati bahwa ternyata mereka bergabung dengan tentara musuh yang sudah berusaha dilawan oleh kelompok kecil mereka selama bertahun-tahun.

"Nyaris seluruh anggota kita juga berpendapat seperti itu," kata Riddle. "Tapi percayalah, mereka sudah lama bekerja kepadaku, dan mereka selalu setia pada kita. Informasi ini benar, dan bahkan sudah dikonfirmasi oleh mereka dengan sebuah foto."

Snape menoleh tajam ke arah yang ditunjuk oleh Riddle. Di sana, di atas meja, tergeletak selembar foto berukuran sedang. Dia berjalan dengan cepat mendekatinya, menyambarnya, dan menatap foto tersebut.

Matanya melebar menatapnya, dia kehabisan kata-kata. Perlu waktu beberapa belas menit, sebelum napasnya bisa kembali normal, sesuatu yang sangat jarang terjadi. Biasanya dia hanya butuh sepersekian detik untuk bisa bernapas dengan normal kembali, tak peduli semengerikan apapun pertempuran yang sedang dia hadapi di medan perang.

"Tak mungkin..." bisiknya.

Tawa menyalak di ruangan luas itu, menggema di sepanjang dinding. Riddle tertawa geli, seolah-olah dia adalah seorang remaja yang baru saja berbagi lelucon dengan temannya. Sedangkan Snape hanya bisa menatap foto tersebut, kebingungan.

"Kamu mengatakan sesuatu yang menggelikan, Severus. Di dunia sekarang ini? 'Tidak mungkin'?" tanya Riddle, terkekeh.

"Tapi -" Snape menoleh menatap atasannya, seniornya, tuannya tersebut, meminta penjelasan. "Tapi - setelah puluhan tahun ini - dia belum mati?"

"Kalau belum mati, ya dia memang masih hidup," kata Riddle, berjalan mendekat.

"Tapi apa hubungannya dia dengan semua ini?" tanya Snape, mengernyit, berpikir keras. "Dia di sini tampak sangat lemah, apa maksud dari informasi ini -"

Pemahaman menyambar kepalanya seperti reaksi ramuan tercepat di dunia, seperti laju cahaya dan hukum gravitasi.

"Kita mau mencoba..." Snape menggeleng pelan. "Menyelamatkannya?"

"Ya, itu benar," jawab Riddle.

"Untuk apa?" kata Snape tanpa berpikir.

Dan dia menyesalinya dalam sekejap. Menanyakan alasan dari Tom Riddle bukanlah tindakan yang bijak, jika kamu mau mempertahankan kepalamu tetap di tempatnya. Dia buru-buru mau meminta maaf, merasa agak panik, namun Riddle mengangkat tangannya, menghentikannya dengan sangat efektif.

"Tenang," kata Riddle pelan. "Aku punya alasan, Severus. Kamu tinggal laksanakan saja. Lain kali, jangan pernah tanyakan hal seperti itu lagi. Mengerti?"

"Baik, sir," kata Snape, mengangguk cepat. Dia tak bisa merasa lebih bersyukur, bisa lolos begitu saja dari hal ini.

Riddle tersenyum samar, dan berjalan sedikit ke kursi terdekat. Dia menggenggam sandaran kursi tersebut, dan berkata, "Untuk bisa melaksanakan misi penyelamatan ini, kita butuh agen."

"Agen... Untuk menyusup ke kastil Kaisar?" tanya Snape, bingung. Dia meletakkan lembar foto tersebut secara perlahan, dan lembut, di atas meja, sebelum berbalik badan agar bisa menatap Riddle sepenuhnya.

Riddle tidak berkata apapun, dia hanya berdiri dalam diam. Dan untuk itu Snape mengerti, bahwa dugaannya benar. Untuk bisa menyelamatkan dia, mereka harus masuk ke dalam kastil Kaisar, sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan tanpa ada bantuan orang dalam.

Hanya ada satu orang yang Snape ketahui, yang bisa menyusup dengan sempurna ke dalam markas musuh, keluar lagi dengan hidup, untuk menjalankan tugas seperti ini.

"Jadi aku ditugaskan untuk ini," kata Snape pelan.

"Ya," jawab Riddle, mengangguk. Kemudian dia menggeleng. "Dan tidak."

Snape mengernyit. "Maaf, sir?"

"Kita akan menugaskan seseorang lain," Riddle berkata pelan. "Seseorang yang akan memiliki kemungkinan besar bisa dipercaya oleh kaisar, sehingga orang itu bisa berjalan bebas di dalam kastil tersebut untuk mencari lokasi penyekapan. Seseorang yang memiliki keistimewaan, sehingga bisa keluar-masuk kastil tersebut, dalam waktu cepat, singkat, dan tanpa masalah."

"Seperti kembar Weasley?" tanya Snape.

"Ya. Tapi ingat, mereka berdua ada di bawah kendali langsung kaisar, sebagai tangan penyiksanya. Akan sangat sulit bagi mereka untuk bisa keluar dari kastil tersebut, hidup-hidup, sembari menyelamatkannya." Riddle berjalan ke dekat perapian, mengangguk-angguk sendiri. "Tidak... Kita membutuhkan seseorang yang lebih segar, wajah baru, yang fresh dan memiliki reputasi, untuk menjadi anggota kita dan bekerja untuk kita."

Kernyitan di wajah Snape tampak semakin dalam, dia semakin tidak mengerti. Siapa yang dibicarakan di sini? Siapa yang memenuhi semua kriteria tersebut?

"Tapi siapa yang memenuhi semua syarat tersebut, sir?" tanya Snape.

Riddle menoleh kepadanya, mata hijaunya menyipit sedikit. Dia berkata pelan, "Bagaimana dengan Potter?"

"Potter?" kata Snape, tidak bisa menyembunyikan suara dan nada jijik dari satu kata tersebut. "James Potter? Dia memang mata-mata handal, tapi dia terlalu setia kepada Orde. Dia tak akan mau mengotori tangannya untuk bergabung dengan kita, apalagi untuk melaksanakan tugas seberat ini."

"Ah, aku tidak mengatakan James Potter," bisik Riddle, tersenyum samar. "Aku membicarakan anaknya, putra satu-satunya itu."

Snape mengerjap. Putra dari James... Dan Lily?

Anak itu? Bocah itu?

Tapi... Anak itu tak bisa lagi disebut bocah. Dia sudah tahu reputasi anak tersebut: Menjadi bagian dari tentara kaisar atas kemauan sendiri, lulus hanya dalam waktu sepuluh bulan dari sekolah perwira dengan prestasi luar biasa, dan bahkan telah mengukir namanya di medan perang Afrika beberapa minggu lalu. Seorang jenius, yang memperkenalkan teknik pertempuran baru dalam penyerbuan wilayah.

Terakhir dia dengar, anak itu telah berdiri di jajaran perwira tingkat pertama, termasuk dalam lapis tengah. Ajaib bagaimana seorang anak yang bahkan tidak menyelesaikan OWL-nya bisa merangkak sejauh itu hanya dalam waktu satu tahun.

Tetap, sangat sulit untuk bisa membujuknya...

"Sangat sulit untuk membujuknya bergabung dengan kita. Dia tidak seperti ayahnya, pamannya, maupun siapapun juga yang kita ketahui. Dia bergabung benar-benar atas keinginannya sendiri, yang mana alasannya itu tidak diketahui, tidak bahkan oleh ayahnya," kata Snape.

"Apakah kamu ayahnya?" tanya Riddle.

"Well, tidak."

"Kalau begitu, aku yakin kamu bisa mencaritahu alasannya lebih baik daripada James Potter," ujar Riddle. "Kamu yang terbaik dalam hal ini, Severus."

"Jadi..." Snape berdiri tegak, mengangkat alisnya sedikit. "Misi untuk saya kali ini adalah..."

"Buat agar Harry Potter mau bekerja bersama kita, Severus," kata Riddle, menatap Snape utuh-utuh. Senyum terpasang di wajahnya, dia melanjutkan, "Dia akan menjadi aset utama untuk semua ini."

"Baik," kata Snape, mengangguk.

Kemudian hening. Snape mengerti dalam waktu singkat. Misi telah diberikan, latar belakang misi juga sudah ada. Yang berarti dia tidak ada urusan lagi dengan semua ini. Dia mundur selangkah, memberikan hormat kepada Riddle, gerakan tegas dan terlatih ditampilkannya.

Riddle membalas hormatnya dengan sama tegas, menampilkan respek balik kepada Snape. Sesuatu yang mungkin termasuk membuatnya disegani sekaligus dihormati oleh semua bawahannya. Snape berbalik badan, jubahnya berkelebat di belakang punggungnya. Dia berjalan keluar dari ruangan -

"Severus," kata Riddle.

Snape berhenti, berbalik badan dengan cepat, kembali menghadap Riddle. Dia berkata cepat, "Siap?"

Riddle menatapnya dalam diam, menurunkan penjagaannya, hingga wajahnya tak lagi berlapis tenaga seperti sepanjang pertemuan mereka yang baru saja selesai. Dia menghela napas pelan, dan berbicara dengan suara pelan.

"Perang ini bisa berakhir. Mungkin ini adalah kesempatan terbesar kita."

Dan Snape mengerti seluruhnya akan hal itu. Dia juga sesungguhnya sudah mengalami banyak sekali hal, melihat banyak sekali pertempuran dan peperangan, menyaksikan teman-teman dan rekan jatuh di kanan-kiri, tumbang di tangannya sendiri, demi misi yang diembannya kepada Riddle. Dia sudah melihat cinta hidupnya berbalik badan dan berjalan menjauh darinya, melihat orangtuanya berpisah, menyaksikan banyak keluarga runtuh dan terpecah karena pertempuran tiada akhir ini.

Asal bisa mendapatkan kesempatan menyelesaikan semua ini, dia rela melakukan apapun. Dia akan bersedia melakukan apa yang perlu dilakukan untuk menyelesaikannya.

Dia mengangguk, mengepalkan tangannya, dan berjalan keluar dari ruangan, menutup pintu di belakangnya.

Dia berharap semoga Harry Potter tidak senaif dan setolol ayahnya.

0 comments: