-----------
Disclaimer: Harry Potter adalah milik J. K. Rowling. Matrix adalah milik Warner Bros Pictures. Saya tidak mengambil keuntungan materiil apa pun dari fanfiksi ini.
Summary: Dua tahun setelah Perang Besar, Severus Snape harus dihadapkan pada fakta bahwa dirinya tidak hidup di tahun 1999, melainkan di dunia matriks yang penuh tipu daya artifisial, bersama Neo, Trinity, dan Morpheus.
Warning: AU, crossover HP dan Matrix, SSLE-SSHG, Snape tidak mati saat Perang Besar.
Dipersembahkan untuk SNAPE DAY CHALLENGE: SCI-FI. Selamat ulang tahun, Severus Snape!
.
Gelap.
Semuanya gelap. Dan bukan hanya sekadar gelap, namun gelap pekat yang membuat sesak.
Matanya tertutup, ia menyadarinya. Ia ingin membuka kelopak matanya, namun tak bisa. Kegelapan itu masih terus mencekiknya. Dan ia merasa segalanya begitu berat, menekannya jauh ke bawah, tenggelam jauh ke dalam kegelapan yang lebih pekat lagi.
Lalu ada suara-suara.
"Bagaimana dia?"
"Dia baik-baik saja, kurasa sebentar lagi dia akan sadar..."
"Beruntung sekali kita berhasil mengeluarkan bisanya sebelum sampai ke jantung."
"Tapi sayang sekali, otaknya—"
Matanya terbuka. Dan pembicaraan itu langsung terhenti. Mata itu mengedip, memandang ke atas, ke kisi-kisi jendela di sisi ruangan itu: sebuah bangsal di Rumah Sakit untuk Penyakit dan Luka-luka Sihir, St Mungo. Ia mengenal tempat itu karena pernah beberapa kali mengunjungi St Mungo. Sekali lagi mata itu mengedip.
Lalu... "Profesor Snape!"
Ia melihat sekelebat rambut cokelat tebal, sepintas rambut merah, dan sejumput rambut hitam.
"Miss Granger? Mr Weasley?" ia terdiam sejenak. "Mr Potter?"
"Panggil Profesor McGonagall! Profesor Snape sudah sadar! Dia bisa berbicara!"
Dia mencoba menggerakkan lehernya, tapi tak bisa. Ada semacam papan kaku yang menahan lehernya di sana. Seluruh tubuhnya juga tak bisa digerakkan. Mendadak ia kebingungan. "Apa...?"
"Selamat siang, Mr Severus Snape," kata seseorang yang mengenakan jubah hijau rapi, yang tiba-tiba muncul dengan gesit di sisi tempat tidurnya. "Kau sedang berada di rumah sakit. Aku adalah Penyembuh yang bertugas di bangsal ini. Kurasa kau ingat kejadian yang menimpamu sebelum kau berada di sini?"
"Ya, aku..." Severus terbata, "... ada ular besar..."
"Kau digigit ular, Sir. Tapi tenang saja, kami sudah menanganinya, dan masa-masa kritismu sudah berlalu." Si Penyembuh tersenyum kepadanya. "Murid-murid dan rekan-rekanmu ada di sini untuk menjenguk."
Dan akhirnya Severus bisa melihat mereka semua dengan jelas: Harry Potter, Hermione Granger, Ron Weasley, Minerva McGonagall, Filius Flitwick, bahkan Rubeus Hagrid, yang entah bagaimana muat masuk ke bangsal itu. Mereka semua berdiri berjajar di sisi ranjangnya. Namun ada yang berbeda. Satu hal yang berbeda...
Mereka semua tersenyum.
Severus tak pernah melihat orang tersenyum padanya sebelumnya.
"Anda kembali, Profesor," kata Hermione sambil tersedu-sedu. "Kami mengira Anda sudah... sudah..." dia menutup muka dengan kedua tangan.
"Severus," ucap Minerva dengan suara seperti terharu-biru. "Semua orang sudah diberitahu. Berita sudah disebar. Namamu sudah dibersihkan. Selamat datang kembali."
Dan teringatlah ia. Pada peristiwa di Shrieking Shack. Memorinya, yang diberikannya pada Harry Potter. Kebenaran. Kisah nyata. Saat itu ia tak pernah tahu bahwa, ternyata, dirinya masih diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup. Bahwa ia akan selamat dari bisa ular mematikan dari Nagini yang merayapi pembuluh-pembuluhnya. Dia pikir sudah tamatlah riwayatnya. Tapi rupanya, ia ada di sini sekarang, bernapas dan hidup.
"Aku... aku..." Severus tak tahu harus mengatakan apa.
"Kau akan disambut kembali di Hogwarts dengan sepenuh hati," kata Minerva lagi.
"Dunia sihir sangat berutang budi padamu, Profesor..."
"Menteri sudah menyiapkan Order of Merlin Kelas Pertama untuk diberikan setelah kau pulang nanti."
Tapi Severus tak lagi mendengarkan. Tiba-tiba, penglihatannya menjadi gelap kembali. Ada rasa tertusuk-tusuk yang menyakitkan di tengkuknya. Rasa sakit mencengkeram kepalanya yang terbaring di bantal hijau empuk, dan ia merasa segalanya berputar... terus berputar... lampu-lampu buyar, wajah-wajah pudar...
"Profesor!"
Dan ia tak mendengar apa-apa lagi.
.
Matrix is Might
A Harry Potter and Matrix crossover
For Snape Day Challenge: Sci-Fi
What separates reality from a dream is just a state of mind.
.
Dua tahun telah berlalu, lambat.
Tahun 1997, Perang Besar pecah di Hogwarts. Namun Lord Voldemort berhasil dikalahkan, dan masyarakat sihir kembali bangkit. Sekarang, tahun 1999, dua tahun setelah dimulainya era kebangkitan dunia sihir, Sekolah Sihir Hogwarts sudah beroperasi dengan normal seperti biasa. Beberapa bagian kastil yang rusak dalam perang sudah sebagian besar diperbaiki, termasuk ruang bawah tanahnya.
Severus Snape masih di Hogwarts, masih mengajar Ramuan, masih tinggal di ruang bawah tanah. Hidupnya telah berubah sangat drastis selama dua tahun terakhir, namun yang terpenting ia masih hidup. Betul-betul hidup, sepenuh-penuhnya, sejujur-jujurnya. Ia bukan lagi agen ganda yang harus berpura-pura sepanjang hari. Ia tidak lagi punya kewajiban untuk bersikap dingin dan tertutup. Dan yang paling penting, ia telah bebas, bebas untuk menjadi dirinya sendiri tanpa terikat bayang-bayang Lord Voldemort.
Adalah sebuah keajaiban ketika itu, waktu ia akhirnya dinyatakan sembuh dari intoksikasi racun ular yang menggigitnya di Shrieking Shack. Semua orang mengira dirinya telah meninggal, tak bisa disembuhkan—tapi ternyata Severus masih diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan. Beberapa hari setelah Perang Besar, ia sudah diperbolehkan pulang dari St Mungo, dan sejak saat itu ia terus tinggal di Hogwarts.
Meskipun, ia tak betul-betul sembuh.
"Ada sedikit komplikasi yang agak mencemaskan," kata si Penyembuh waktu itu, sebelum ia pulang dari rumah sakit, "sesuatu yang tidak bisa kami cegah, karena kerja bisa ular tersebut sangat cepat dan kau sudah terkena komplikasi itu saat tiba di rumah sakit."
"Komplikasi apa?" tanya Severus, sementara ia berbicara sendiri dalam hati, apalah gunanya meributkan komplikasi kecil, bukankah sudah bagus dirinya masih bisa bertahan hidup?
"Racun tersebut sudah terlanjur masuk ke otakmu," jelas si Penyembuh dengan suara bersimpati. "Dan sudah membuat kerusakan di sana. Kerusakannya tidak fatal, tidak menyebabkan kematian, tapi punya dampak yang cukup serius. Kau mungkin akan mengalami gangguan persepsi. Kau tahu apa itu?"
"Halusinasi?" kata Severus lelah. "Ilusi?"
"Tepat, Mr Snape. Kami belum bisa memperkirakan seberapa besar kerusakan di otakmu, namun kau akan mengalami gejala-gejala itu, cepat atau lambat. Kau mungkin akan melihat hal-hal yang tak dilihat orang lain, mendengar suara-suara ganjil... tapi semua itu hanya ada dalam kepalamu. Kami menyebutnya, kehilangan pegangan pada realitas."
"Jadi, aku akan jadi gila?" tanya Severus, singkat, lugas dan pahit.
Si Penyembuh tampak berpikir-pikir sejenak, mempertimbangkan jawabannya. "Kita tak pernah bisa mendefinisikan 'gila'," katanya akhirnya, dengan terlalu diplomatis dan membuat Severus kesal.
"Apa yang harus kulakukan untuk mengatasinya?"
"Tidak ada," jawab Penyembuh itu. "Kau hanya bisa menunggu. Dan jika kau mulai mengalami hal-hal aneh yang tak masuk akal... kau bisa kembali ke sini, dan kami akan membantumu meringankan gejalanya, namun hal tersebut tidak bisa sembuh total. Aku takut kau harus hidup bersama penyakit itu dalam waktu yang sangat lama."
Jadi, dia sembuh, hidup, tapi gila. Severus pulang dari rumah sakit dengan kekesalan baru, namun karena ia tak bisa melakukan apa-apa, maka ia berusaha untuk tenang dan dengan berani menantikan kegilaan itu datang. Kata si Penyembuh, ia akan mendengar suara-suara yang tak didengar orang lain, atau ia akan melihat hal-hal ganjil, benda-benda berubah bentuk tak sewajarnya...
Tapi ia belum mengalaminya, sampai hari ini.
Dua tahun setelah Severus divonis 'akan jadi gila', dia belum jadi gila.
Meskipun begitu, Severus tak bisa bilang bahwa kondisi mentalnya prima seratus persen. Bahkan, sebetulnya, jiwanya sangat jauh dari prima.
"Selamat pagi, Profesor Snape." Seorang gadis berambut cokelat tebal berjalan menjajarinya di koridor, mengalihkan pikiran Severus yang sedang melamun jauh. "Kau bangun lebih pagi."
"Ya, Miss Granger," kata Severus singkat.
Hermione Granger, yang kini sedang menjabat sebagai guru magang di Hogwarts setelah ia lulus tahun lalu dari kelas tujuh—setelah mengulang pendidikan kelas tujuh selama setahun—terus berjalan menyebelahi Severus dengan bersemangat, meskipun pria itu tampak sangat dingin dan tak ingin diganggu seperti biasa. Tapi Hermione selalu ingin mengajaknya bicara, entah kenapa.
"Anda tidak mimpi buruk lagi kan?" tanya Hermione hati-hati. "Kusarankan Anda minum Ramuan Tidur Tanpa Mimpi agar—"
"Aku tahu, Miss Granger," kata Severus tajam. "Aku cuma lelah sehabis mengajar dan bermimpi buruk..."
"Anda tidak lelah," sela Hermione, nada suaranya terdengar agak memaksa. "Anda sudah mimpi buruk sejak aku mulai mengajar di sini setahun yang lalu. Secara fisik, Anda baik-baik saja. Mungkin, jiwa Anda yang lelah."
Severus berhenti berjalan, dan memutar badannya untuk menghadapi Hermione.
"Dengar, Miss Granger," desisnya, sementara Hermione tertunduk kaget. "Kau tak tahu apa-apa tentang aku. Berhentilah mengurusi hidupku dan memberi nasehat-nasehat dan perhatian; aku tak butuh semua itu. Kau mengerti?"
Severus meninggalkan Hermione berdiri mematung dan berjalan cepat menuju pintu Aula Besar, tapi Hermione masih nekat berbicara, suaranya bergaung di koridor batu luas itu: "Bagaimana dengan Lily?"
Pria itu berhenti berjalan. "Apa katamu?"
"Lily," kata Hermione jelas, meskipun suaranya mulai bergetar. "Aku tahu Anda masih terus memikirkannya, dan aku tahu Anda merindukan kehadiran Albus Dumbledore dan Anda merasa bersalah karena telah membunuhnya. Anda sudah menghabiskan hidup bertahun-tahun menjadi anak buah Lord Voldemort dan kini Anda berada dalam fase trauma setelah perang—"
"DIAM!"
Severus tampak seperti sudah akan meledak. "Jangan... bicara... tentang... hal-hal itu lagi... padaku!"
Kini Hermione betul-betul berhenti bicara. Ia memandangi Severus Snape, si Ahli Ramuan, yang sudah bertahun-tahun menjadi gurunya, dan sekarang telah menjadi rekan sejawatnya. Meskipun Severus selalu diam seribu bahasa, selalu menjaga jarak dengan semua orang, tapi Hermione memahaminya, mengetahui apa yang ia rasakan, dan ia merasakan empati terhadapnya.
Hermione ingin Severus tahu bahwa pria itu tidak sendirian, bahwa Hermione siap datang membantu kalau dibutuhkan. Tapi sayangnya, Severus begitu keras kepala.
Jujur saja, Hermione merasa sangat cemas tentang Severus. Sangat amat cemas.
.
.
.
Pada dimensi ruang yang berbeda, tiga orang duduk bersama di sebuah meja kayu ringan. Ketiganya mengenakan pakaian berwarna kelabu, ketiganya memiliki lubang yang disegel seperti disekrup di belakang kepala mereka, dan topik pembicaraan mereka tidak pernah mendekati topik sehari-hari yang dibicarakan orang normal.Karena orang-orang tersebut, Neo, Trinity, dan Morpheus, bukan orang-orang normal. Setidaknya di dunia yang dianggap dunia normal.
"Apa itu gangguan persepsi?" Neo bertanya, kedua mata hitamnya terpancang pada Morpheus, yang sudah hidup lebih lama di Nebuchadnezzar dan lebih banyak tahu. "Apa yang sedang dialami orang ini?"
"Gangguan persepsi adalah perbedaan antara apa yang diterima indera dan apa yang diterjemahkan oleh otak," jelas Morpheus pelan. "Misalnya, matamu melihat sebatang pensil di atas meja, tapi otakmu berkata bahwa kau melihat sebilah pisau."
"Ilusi," sambung Trinity, si wanita kurus berambut pendek yang tangguh. "Hal-hal yang sebenarnya tidak nyata, dianggap nyata."
"Bagaimana dengan halusinasi?"
"Halusinasi adalah keadaan ketika otakmu merasa dirinya merasakan sesuatu yang sesungguhnya tidak ada. Misalnya, kau sedang sendirian dalam sebuah ruangan kosong, tapi kemudian kau mendengar suara-suara yang mengajakmu bicara, padahal tak ada siapa-siapa di sana." Morpheus melipat tangannya di atas meja, kulitnya yang gelap tampak sangat kontras di atas warna kelabu. "Gangguan persepsi adalah tanda awal hilangnya pegangan terhadap realitas."
"Membuatmu jadi tak tahu lagi mana yang nyata, mana yang tidak," Neo menyimpulkan. "Apakah sebetulnya yang kita lihat dengan mata kita adalah nyata, atau hanya ilusi belaka?"
"Tepat," kata Trinity. "Dalam istilah biasa, sehari-hari orang menyebutnya gila. Tapi apalah artinya gila? Dan yang lebih penting lagi, apalah artinya menjadi gila di dunia matriks?"
Ketiga sahabat itu terdiam sesaat. Agak lama, lalu lebih lama. Sampai kemudian Morpheus memecahkan keheningan.
"Bukankah kita punya target baru?"
"Oh ya?" kata Neo. "Siapa?"
"Seorang pria bernama Severus Snape. Ia sekarang hidup di dunia matriks, tepatnya di Inggris. Tapi tak lama lagi ia akan mulai menghancurkan dunianya." Morpheus tersenyum bijak. "Kita akan menjemputnya dan mengantarkannya menuju realitas yang sesungguhnya."
"Bagus," kata Neo dan Trinity bersamaan.
.
.
.
Severus berjalan cepat menuju ruang bawah tanah. Kelas Ramuan terakhir tadi sore betul-betul menguras tenaganya, karena anak-anak kelas satu kebanyakan masih terlalu canggung mengurus ramuan dan, seperti biasa, terjadi banyak kecelakaan dalam kelas. Beberapa kuali meledak, beberapa anak ditumbuhi bisul dan taring tambahan di wajah. Setelah akhirnya kelas itu berakhir, Severus langsung kabur ke kantornya.Kepalanya sakit.
Dia mendudukkan dirinya pada kursi berlengan empuk di balik meja kantornya, berusaha menenangkan diri, tapi di luar kendalinya, jantungnya berdebur keras seolah marah. Sesuatu yang dingin menjalari telapak tangannya, lalu ia mulai menggigil.
"Semua itu masih tersisa dalam kepalamu."
Dia mendengar suara Hermione Granger. Tidak, Hermione tidak sedang berada dalam ruangan itu bersamanya, yang ia dengar adalah memori. Sesuatu yang dikatakan Hermione kepadanya berbulan-bulan lalu, sejak wanita muda itu mulai menjadi guru magang di Hogwarts.
"Severus, orang tidak bisa dengan mudah sembuh dari luka-luka batin akibat perang," kata Hermione waktu itu, rambut cokelat lebatnya yang berantakan melambai-lambai sementara ia menggerak-gerakkan kepalanya tanda cemas. Sepasang mata cokelat itu menatap Severus dengan sungguh-sungguh. "Kau sudah menjalani hidup yang sulit selama belasan tahun. Semua tegangan dan tekanan yang kaualami, semua pertarungan, semua petualangan tragis—meskipun semua sudah berlalu, tapi akan terus membekas dan menghantui."
Dan memang betul: Severus masih bisa mengingat rasa pahit dan sakit yang menerjang dadanya ketika ia membunuh Albus Dumbledore, satu-satunya manusia di dunia yang mengetahui rahasianya dan dengan setulus hati peduli padanya. Ia masih bisa merasakan tebal dan baalnya dinding hati yang ia bangun ketika ia berhadapan dengan Lord Voldemort, yang menganggap kematian seorang Darah-Lumpur—Lily Evans—tak layak menjadi perhatian. Dan lebih-lebih, sampai sekarang, Severus masih merasakan nyeri hebat di jantungnya jikalau ia teringat pada Lily, wanita yang tak membalas cintanya sejak zaman dahulu kala.
Setelah semuanya berakhir, luka itu tidak ikut sembuh.
"Apakah aku gila?" dia bertanya saat itu, kepada wajah Hermione yang muram. Ia belum pernah berbicara sedekat dan sedalam itu dengan seseorang sebelumnya. Hermione adalah pengecualian. "Apakah aku gila, Miss Granger?"
Hermione masih saja tampak muram. "Sebisa mungkin, berpeganganlah pada realitas, Profesor Snape."
Dan hari ini, di kantornya, saat ini, Severus nyaris tak tahu lagi mana yang realitas, dan mana yang bukan.
Kegilaan yang dijanjikan telah datang...
Sosok kabut mendadak tumbuh dari benih tak kasatmata di sebuah kuali kosong di sudut ruangan. Kabut itu berpusar dan menebal, dan detik berikutnya satu sosok yang sangat familiar muncul, memanjat keluar dari kuali, melempar senyum sadis. "Severus Snape, abdiku yang setia..."
"Tuanku," bisik Severus. "Kau sudah mati. Kau tidak nyata."
Asap kabut berbentuk Lord Voldemort melayang-layang sambil melontarkan tawa jahat yang mendinginkan sumsum tulang. Kemudian, dari mulutnya yang terbuka lebar, keluarlah sosok ular besar yang mendesis garang—Nagini, ular yang hampir membunuh Severus, ular yang racunnya menyebabkan terjadinya semua ini.
Severus menjatuhkan kepalanya ke meja, sakit yang tak tertahankan melandanya. Segalanya mulai berputar, dan perutnya bergolak, isinya menuntut untuk dimuntahkan. Sementara itu, bayangan Voldemort masih terus terbahak tegang dan bayangan Nagini terus-menerus berdesis. Kemudian sosok lain muncul.
"Severus," bisik seorang wanita berambut merah. "Severus, apa yang sudah kaulakukan?"
"Lily, Lily..."
"Kau mengorbankan segalanya demi aku, bahkan setelah aku mati," desah Lily, rambut merahnya menyala semakin terang dan semakin terang, menyilaukan, membutakan. "Apa yang kaupikirkan, Sev?"
Apa yang dia pikirkan? Apa? Apa yang sedang dia pikirkan? Permainan macam apa ini yang tengah berpusar dalam otaknya?
"Ikutlah denganku, Sev," kata Lily, tersenyum kelu, tangannya terulur. Kakinya tak menjejak ke lantai, ia melayang-layang seperti putri duyung di dasar danau. "Kembalilah padaku, hidup bersamaku..."
Sepercik logika di sudut benak Severus berteriak. Lily sudah mati. Ikut dengannya berarti... aku mati...
"Kau tidak nyata," teriak Severus. "Kau tidak nyata..."
"Siapalah dirimu, yang berani menghakimi, mana yang nyata dan mana yang tidak?" Lily terbang berputar, berbisik di telinganya. "Cintamu kepadaku nyata, Sev."
"PERGI!" Severus menjerit. "PERGI! PERGI!" Lalu rasa sakit di kepalanya berubah menjadi sejuta kunang-kunang...
Aku tidak gila, aku tidak gila, aku tidak gila...
Benaknya memberontak, mencari pegangan. Ia tidak mau terperangkap dalam kegilaan. Ia tak ingin hidup terpenjara dalam ilusi. Seandainya ada satu hal, satu hal saja yang bisa membuatnya berdiri teguh dalam realitas—
—dan saat itulah dia melihat sesuatu, seseorang, yang sangat tidak familiar.
Di tengah kabut halusinasi ruang kantor itu, Severus menyipitkan mata untuk melihat ke arah pintu yang tidak tertutup. Di ambang pintu, tertutup kabut tebal, berdiri seorang pria yang tak dikenal Severus. Pria itu mengenakan pakaian seperti Muggle: setelan hitam resmi berupa kemeja putih, jas hitam, dan celana hitam sederhana. Rambutnya pendek rapi, wajahnya lonjong tidak ramah, dan ia mengenakan kacamata hitam. Satu-satunya tempat di mana Severus pernah melihat manusia berpenampilan seperti itu adalah di film-film tentang mata-mata Muggle...
Siapa pria itu? Apakah ia bagian dari halusinasi Severus?
"Siapa kau?" teriak Severus. "Apa yang kauinginkan? Dari mana kau datang?"
Tapi pria itu hanya berdiri diam di sana; dan sesuatu di dalam kepalanya memberitahu Severus bahwa pria itu nyata, bukan khayalannya. Maka ia berusaha bergerak untuk mendekati si pria.
Namun baru ia bergerak selangkah, rasa sakit di kepalanya melandanya lagi. Meledak mematikan. Mengerutkan seluruh tengkoraknya. Menyiksanya.
Severus terjatuh ke lantai, dan pada saat itu segalanya menjadi hitam.
.
to be continued
0 comments:
Post a Comment