Link yang asli ada di sini
Fic ini multichaptered, sila baca lanjutannya di link di atas
HARI YANG SAMA
Harry Potter kepunyaan JK Rowling
Rate T, family/friendship. Severitus dalam bentuk yang berbeda.
Untuk SnapeDay. Karena penulisannya belum selesai, terpaksa dibuat multichapters. Moga selesai sebelum tanggal 16
-o0o-
Harry Potter kepunyaan JK Rowling
Rate T, family/friendship. Severitus dalam bentuk yang berbeda.
Untuk SnapeDay. Karena penulisannya belum selesai, terpaksa dibuat multichapters. Moga selesai sebelum tanggal 16
-o0o-
Matahari belum naik sempurna saat Harry berjalan berlawanan arah dengan tujuan orang lain yang sudah bangun. Ia melangkah dengan pasti, membalas sapaan tapi langkahnya tak berhenti. Langkahnya terarah pada Dedalu Perkasa. Yang dahan-dahannya terus berayun mencari korban.
Tapi Harry tak mempedulikannya. Sesampainya di sana, matanya berkeliling mencari sesuatu. Dapat. Sesuatu seperti tonjolan akar. Dikeluarkannya tongkatnya, dan dengan ujung tongkat ditekannya. Gerakan mengayun dari dahan-dahan Dedalu Perkasa mendadak berhenti.
Harry mendekati tonjolan akar itu. Ada sesuatu seperti mulut terowongan di situ. Dengan pasti Harry merunduk memasukinya. Terus berjalan, walau terkadang harus merunduk atau bahkan agak merangkak.
Ia memasuki Shrieking Shack. Tempat yang beberapa hari lalu, menjadi salah satu saksi kejamnya Perang Besar. Dan satu korbannya, meninggal di sini.
Di ujung terowongan, ruangan membesar seperti kamar. Harry berdiri tegak kini. Matanya kembali berkeliling, mencari sesuatu.
Walau sudah dibersihkan, genangan darah itu masih membekas. Harry melangkah setapak mendekat. Matanya terus memindai sekeliling.
Dapat.
Ternyata benda itu ada di kolong ranjang. Ketika sang korban terjatuh, ketika Harry mendekat, keluar dari Jubah Gaib, rupanya benda itu terjatuh agak jauh, masuk ke kolong ranjang. Dan tak ada yang memperhatikan.
Hati-hati Harry memungut benda hitam panjang pipih itu. Tongkat sihir Severus Snape.
Walau baru beberapa hari ada di sana, dan karenanya belum tentu berdebu, tapi Harry membersihkannya dengan sekasama. Dan dimasukkannya ke dalam saku dalam jubahnya.
Setelah melihat sekali lagi berkeliling, Harry kembali menelusuri terowongan, keluar lagi.
Merunduk, pelan-pelan ia sampai di mulut terowongan. Dengan hati-hati ia melompat ke luar, ke tanah. Menjauh dari mulut terowongan, ia menunjukkan tongkat sihirnya pada tonjolan akar tadi. Dan dahan-dahan Dedalu Perkasa kembali mengayun.
Tak mempedulikan Dedalu, Harry berjalan lagi ke arah kastil.
Di Aula Besar puluhan peti disemayamkan. Tak ada meja-meja panjang asrama. Tak ada yang memperhatikan itu, semua peti diletakkan tak menurut asramanya.
Dengan ujung mata Harry melihat sekilas, keluarga Weasley plus Hermione, melingkari sebuah peti. Seorang wanita yang Harry kenali sebagai Andromeda Black-Tonks, berdiri di antara dua peti. Dan masih banyak lagi orang lain—kenal atau tidak—mengerumuni peti-peti jenazah.
Yang ia cari tidak ada di sini, ia tahu pasti. Langkahnya pasti menuju ke kantor Kepala Sekolah.
"Dumbledore," ia membisikkan kata kunci pada gargoyle di sana, dan gargoyle itu bahkan sudah bergerak bergeser sebelum kata itu selesai diucapkan.
Kantor Kepala Sekolah kosong. Profesor McGonagall yang ditunjuk sementara sebagai Pejabat Kepala Sekolah, sedang mengurus hal lain tentunya. Tapi Harry sudah minta ijin tadi, untuk mencari tongkat Profesor Snape, dan menyimpannya ke dalam peti.
Peti jenazah Severus Snape, sendiri di Kantor Kepala Sekolah.
Inilah dia. Harry merogoh ke dalam jubahnya, mengeluarkan tongkat hitam ebony itu, menggenggamnya erat. Ia membuka tutup peti sedikit, dan sudah akan menyimpan tongkat itu di dalamnya, ketika tiba-tiba saja ada dorongan untuk melakukan sesuatu.
Tiba-tiba saja ia ingin mengetahui apa saja yang sudah dilakukan mantan Profesornya selama ini. Walau ia tahu ini mungkin saja salah, walau ia tahu biasanya yang melakukan hal seperti ini adalah para profesional dan demi kepentingan hukum, tetapi ada rasa untuk mengetahuinya.
Rasa yang kuat.
Diletakkannya tongkat Snape di atas meja. Dikeluarkannya tongkatnya sendiri.
Sebelum melakukannya, ia melihat berkeliling. Jika saja ada seseorang untuk dimintai pendapat. Apalagi kalau Dumbledore.
Tapi pigura-pigura lukisan semua kosong. Kelihatannya semua mantan Kepala Sekolah sedang berada di Aula Besar.
Oh well. Baiklah.
Dipegangnya tongkatnya sendiri erat-erat, ditunjukannya pada tongkat Snape. Suaranya pelan tapi pasti. "Priori Incantantem!"
Dalam hitungan sepersekian detik, bagai ada kilasan petir meloncat dari tongkat Snape ke tongkatnya, dan merembet ke tangannya. Refleks Harry berusaha menggerakkan tangannya agar 'petir' itu jatuh dari tangannya, tapi ternyata tidak. Tangannya, tongkatnya, dan tongkat Snape seperti dilem, seperti diikat oleh sesuatu yang kuat.
Dan perlahan muncul citra samar di hadapan Harry. Bagai Muggle sedang memirsa tayangan hologram. Situasi Perang Besar, tebak Harry, dan sepertinya Snape baru saja menjatuhkan seorang Pelahap Maut. Mantra non-verbal.
Tiba-tiba ada rasa senang meresap ke dalam hati Harry.
Meloncat ke citra lain, hampir sama, nampaknya Snape diam-diam menjatuhkan satu demi satu Pelahap Maut yang ia temui. Sepertinya Snape sering menggunakan mantra non-verbal, karena Harry tak mendengar suara sedikit pun, dan tak tahu mantra-mantra apa saja yang sedang dirapal Snape.
Tiap ada satu korban jatuh, tiap kali itu juga ada perasaan puas menyerap ke dalam hatinya.
Dan mendadak Harry sadar.
Priori Incantantem bukan hanya memberi tahu kita tentang mantra apa yang terakhir dilakukan oleh sebuah tongkat sihir dalam urutan terbalik, tetapi juga memberi tahu kita, seperti apa situasi sekeliling, dan seperti apa rasa hati si pemegang tongkat—
Dengan berdebar-debar—setengah tak mau mengetahui tapi juga penasaran—Harry menanti tiap mantra yang diucapkan atau tak diucapkan dengan tegang. Ada saat di mana Snape terasa senang—sedang mengerjakan sesuatu untuk Orde—tetapi ada rasa sakit di mana ia sedang merapal mantra demi Pangeran Kegelapan.
Dan yang ini—
Harry mengenal baik situasi ini. Situasi di mana Pondok Hagrid terbakar, di mana Snape mementahkan semua mantranya, di mana Snape dan Malfoy lari dari Hogwarts—setelah peristiwa itu.
Nyaris saja Harry menghentikan Priori Incantantem.
Ia tahu mantra apa yang akan keluar saat ini.
Ia tak mau melihat lagi peristiwa yang sangat menyayat hati itu. Tapi—entah ada apa yang menahannya.
Maka dengan gemetar ditunggunya mantra itu dirapal Snape.
Saat Snape merapal Avada Kedavra.
Saat rasa sesal tak terperi merasuk ke dalam hati Snape—dalam hati Harry saat ini—, saat rasa tak berdaya untuk mencegah pengucapan mantra itu, sementara ia juga tahu bahwa pengucapan mantra itu harus dilakukan. Selain untuk pencitraan ke luar, juga ia harus melakukannya demi Dumbledore sendiri. Demi keadaan kesehatan Dumbledore yang sudah ia ketahui.
Ia harus.
Dan terucaplah kata itu.
Harry terduduk di lantai.
Kakinya tak lagi bisa menahan beban. Seluruh badannya lemas tak berdaya. Ia harus menghentikan semua ini. Mengumpulkan semua kekuatan tersisa, ia menggenggam tongkatnya sendiri erat-erat dan membisikkan, 'Finite Incantantrum'
Waktunya mungkin hanya bermenit-menit, tetapi seakan berjam-jam. Lemas, seakan sudah bekerja keras. Terengah-engah seakan sudah berlari jauh, Harry berusaha berdiri tegak lagi. Perutnya bergolak seakan ingin memuntahkan semua yang ada di dalamnya. Kepalanya berputar, tak sepakat dengan keinginannya untuk berdiri tegak. Harry terus berusaha tegak.
Tepat saat pintu diketuk.
"Harry, apakah kau ada di dalam?"
Profesor McGonagall.
Ini adalah kantornya sekarang, tapi ia masih mengetuk, tahu bahwa Harry ada di dalam, seperti tahu bahwa Harry sedang mengeluarkan isi hatinya di depan peti jenazah
"Silakan masuk saja, Profesor—"
Pintu terbuka, dan Profesor McGonagall masuk. Harry berusaha sebisanya agar ia nampak wajar. Diletakkannya tongkat Profesor Snape tepat di antara kedua tangan yang diatur bersilang di dada. Ditutupnya kembali peti itu.
"Acara pemakaman akan segera dimulai—"
Harry mengangguk. Keduanya kemudian berjalan keluar tanpa suara, menuju ke tempat pemakaman. Di belakang, peti jenazah melayang mengikuti, dikendalikan mantra yang diucapkan tanpa suara oleh Profesor McGonagall.
Harry berdiri paling depan didampingi Ron dan Hermione, di antara guru-guru, Kingsley Shacklebolt dan beberapa rekan Orde Phoenix lainnya. Upacara berjalan khidmat, tapi Harry sama sekali tak bisa khusyu mengikutinya.
Ia masih terguncang peristiwa-peristiwa Priori Incantantem tadi. Seperti robot ia mengikuti jalannya upacara tanpa memperhatikan nama siapa saja yang sedang diucapkan seiring dimasukkannya peti ke dalam tanah. Cukup lama sebenarnya karena jumlah yang harus dimakamkan, tidak seperti pemakaman Dumledore, tapi Harry sama sekali tak memperhatikan, tak menghitung waktu.
Begitu upacara selesai, begitu orang-orang bubar satu demi satu, ia pun otomatis berbalik, bermaksud menuju asramanya.
"Harry! Harry! Mau ke mana?"
Harry berbalik. Hermione mencengkeram lengannya, "Kau tak mendengar pengumuman tadi? Kita ke knator Kepala Sekolah, menghadiri pembacaan wasiat—"
Pembacaan wasiat? Kenapa aku harus menghadiri pembacaan wasiat? Harry bingung, karena sepengetahuannya, yang hadir dalam pembacaan wasiat itu hanya orang-orang yang namanya ada dalam itu—
"Barusan Profesor McGonagall bilang, kita disuruh menghadiri pembacaan wasiat Profesor Snape! Kau tidak dengar?"
Harry menggeleng. Ia mengganti arah langkahnya ke kantor Kepala Sekolah.
Percaya atau tidak, namanya ternyata memang ada dalam wasiat. Berbarengan bersama sebuah buku ramuan Moste Potente Potion edisi pertama yang diberikan pada Hermione, dan satu set kuali yang diberikan pada Ron, namanya ada. Buku ramuan yang pernah ia sembunyikan di Ruang Kebutuhan, ternyata ditemukan oleh Snape, dan justru sekarang diberikan padanya. Plus, sebuah kotak kayu.
Kotak kayu?
Dibawanya buku dan kotak kayu itu kembali ke asrama, ke ruang tidurnya. Diletakkannya di atas kasur. Perlahan-lahan dibukanya.
Kotak itu penuh dengan surat-surat yang dilipat rapi dan diikat, benda-benda kecil dan besar berbagai macam. Dibukanya tali ikatan surat, dibukanya lipatan surat itu, dan dibacanya selembar.
Dan ia terhenyak.
Surat-surat Lily. Tulisan ibunya. Persis sama seperti yang ia temukan di kamar Sirius.
Dari masa sebelum masuk Hogwarts, saat Lily bertamasya ke daerah lain ada kartupos untuk Snape. Saat Lily bepergian ke daerah lain, tiap kali ia pergi ke mana saja bersama orangtuanya—tentu saja, kan Lily masih kecil—tak lupa Lily mengirimkan surat atau kartupos untuk Snape. Pos Muggle, pikir Harry sambil meraba perangko yang nyaris lepas karena sudah lama.
Lalu ada surat-surat yang melayang antar-asrama, karena ini tak memakai perangko. Tanggalnya menunjukkan masa-masa kelas tahun pertama hingga berhenti di tahun kelima. Tahun 'kata itu', pikir Harry getir.
Ada juga surat-surat lain, masih dalam kurun waktu itu, tetapi di luar masa bersekolah. Sepertinya Lily rajin menulis manakala bepergian.
Harry belum membaca semuanya, ia hanya membuka satu demi satu, membaca sepintas. Menutupnya kembali. Menyusunnya kembali dengan rapi. Mengikatnya lagi hati-hati.
Setelah itu ia memusatkan perhatian pada benda-benda yang ada dalam kotak. Ada beberapa foto berpigura—Snape dan Lily. Masih sangat muda, kelas satu atau kelas dua nampaknya. Ada batu-batu kecil berbentuk lucu. Ada bunga-bunga kering. Bahkan ada satu foto yang rupanya sobekan dari foto yang Harry lihat di kamar Sirius tempo hari.
Menyesakkan.
Harry menyandarkan tubuhnya ke kepala tempat tidur, memejamkan mata.
Snape sangat mencintai ibunya, ia tahu itu. Tapi bahwa Snape juga punya perhatian untuk mewariskan benda-benda kenangan ini padanya, baru ia tahu.
Dan itu sangat menyesakkan.
"Harry?"
Suara itu terdengar dari balik pintu. Ron. Terdengar khawatir.
"Ya? Aku nggak apa-apa, masuk saja!"
Pintu terbuka, dan Ron muncul.
"Waktu makan siang—"
"OK." Harry memasukkan lagi barang-barang dan surat-surat ke dalam kotak dengan hati-hati, menutupnya pelan-pelan. Dan mengikuti Ron ke Aula Besar untuk makan.
-o0o-
Aula Besar kali ini berbeda, bukan saja karena penuh dengan orangtua murid, anggota Orde, dan masih banyak lagi orang dewasa selain guru, tetapi juga karena tidak ada pembagian tempat duduk berdasarkan asrama. Kemungkinan hanya untuk sementara karena para guru juga tidak duduk di Kursi Tinggi tetapi membaur bersama murid dan orang dewasa lainnya.
Harry mencari tempat kosong, tetapi rupanya cukup sulit. Hagrid melihat ini, dan melambai pada mereka. Ia bergeser sedikit, dan itu cukup untuk Harry dan Ron duduk. Di seberang meja ternyata Hermione sedang bercakap-cakap dengan Profespr McGonagall.
"Harry," sahut Hermione, "kukira kau tak akan makan—"
Harry hanya tersenyum tipis. Sekilas ia teringat akan sesuatu yang harus ditanyakan pada Profesor McGonagall.
"Profesor," sahutnya, "—apakah tadi sudah ada lukisan Profesor Snape?"
Profesor McGonagall nampak berpikir sejenak. "Rasanya tidak. Belum ada. Ya, aku ingat, belum ada. Tidak seperti Dumbledore yang langsung ada—"
Harry menarik napas panjang.
Profesor McGonagall memperhatikan muridnya ini, "Ada tiga unsur yang harus dipenuhi agar lukisan seorang almarhum Kepala Sekolah bisa muncul di dinding Kantor. Pertama, pengakuan publik. Pengakuan publik ini bisa de jure, pengakuan murid-murid, guru-guru, dan sebagainya; lalu de facto pengakuan oleh Wizengamot. Kedua, pengakuan oleh kastil. Kekuatan sihir yang ada dalam kastil secara keseluruhan, bisa berpengaruh akan diakui atau tidaknya seorang Kepala Sekolah."
Hati Harry mencelos. Bagaimana jika Kastil tidak mengakui Profesor Snape sebagai salah satu Kepala Sekolah?
"Unsur yang satu lagi, Profesor?" tanyanya memberanikan diri.
"Yang satu lagi, pengakuan dari dirinya sendiri—"
Harry terdiam. Hanya memain-mainkan garpu tanpa memperhatikan makanannya.
"Harry."
Harry tersentak.
"Kau harus makan, Harry," Profesor McGonagall menegur.
"Oh—eh, i-iya, Ma'am," Harry memaksakan diri untuk memusatkan perhatian pada piring di hadapannya, memaksakan diri untuk menghabiskan makanannya.
Sisa waktu makan digunakan Harry untuk mendengarkan percakapan Profesor McGonagall dengan Hermione dan Hagrid tentang kemungkinan-kemungkinan mereka meneruskan Hogwarts, kurikulum yang mungkin dipakai, apakah tahun yang kemarin akan dihitung, dan sebagainya, dan sebagainya.
-o0o-
Hari ini Hogwarts sudah jauh lebih sepi dari kemarin. Mereka yang masih tinggal hanya beberapa orang murid dan guru, itu juga sudah akan kembali ke rumah masing-masing hari ini.
Setelah melalui rapat, akhirnya diputuskan bahwa sekolah akan dilanjutkan pada bulan September seperti biasa. Waktu sebelumnya akan digunakan untuk perbaikan kastil. Tingkat kelas yang akan dipakai nanti adalah tingkat tahun kemarin, mengingat tahun yang lalu berlalu tanpa pengajaran yang efisien. Kebanyakan setuju, walau itu berarti mereka harus mengulang lagi setahun. Penambahan kelas dilakukan untuk kelas satu, mengingat jumlah anak-anak umur kelas satu sudah bertambah dengan bertambahnya tahun.
Harry memutuskan untuk pulang ke Grimmauld saja, dengan berbagai pertimbangan. Dari Grimmauld, ia akan lebih mudah mengakses Kementrian, Wizengamot, dan sebagainya. Ia sudah bertekad bulat, akan memperjuangkan agar lukisan Profesor Snape bisa muncul sebagai mestinya.
Tetapi, selain itu, ia memang harus bolak-balik ke Wizengamot. Memberikan kesaksian atas jalannya Perang Besar maupun saat-saat sebelumnya. Memberikan kesaksian pada pengadilan beberapa orang, termasuk juga keluarga Malfoy. Sampai pada keputusan yang melegakan, jasa-jasa Severus Snape diakui Wizengamot, bahkan dianugerahi medali Orde of Merlin, kelas 1.
Kesibukan yang melelahkan, sehingga hari-hari berlalu dengan cepat. Tak terasa, 1 September sudah di depan mata.
Peengakuan de jure dan de facto sudah ia peroleh. Satu unsur sudah ia dapat.
Profesor McGonagall langsung memanggil Harry ke kantor pada malam hari sesudah pesta penerimaan murid baru. Untuk memperlihatkan sesuatu yang melegakan.
Sebuah pigura sudah ada di samping lukisan Dumbledore. Tapi pigura itu masih kosong, hitam legam, belum ada isinya.
"Ini menunjukkan, dengan diakuinya Profesor Snape secara de jure dan de facto, Kastil juga mempertimbangkan untuk mengakui beliau—"
Harry menghembuskan napas lega.
"Lalu, kapan kira-kira pigura ini akan berisi?" sahutnya, tak berharap akan jawaban.
Profesor McGonagall menggeleng. "Aku juga tak tahu, Harry. Hanya waktu yang akan menjawabnya—"
Harus bagaimana lagi?
-o0o-
TBC
TBC
0 comments:
Post a Comment