Tuesday, 12 January 2010

Severus Snape vs Harry Potter by Mela Muggle

Link asli ada di: http://www.harrypotterindonesia.com/index.php?topic=7011.msg146397#msg146397


Severus Snape vs Harry Potter



Timeline: Tahun ke-4 Harry Potter dkk di Hogwarts… sebenernya tahun berapapun nggak masalah, karna cerita ini AU

Rating: PG (untuk teman-teman HPI yang di bawah umur, kelakuan Harry ke Snape jangan ditiru ya… nggak boleh lhoh ya, ngebentak-bentak guru kayak Harry gitu, hehe…)

Disclaimer: Harry Potter milik JKR

********


Pukul sebelas siang tepat. Seluruh murid kelas empat yang akan mengikuti ujian Ramuan sudah bersiap di meja mereka, dengan lembar jawaban kosong di hadapan masing-masing. Menggunakan tongkat sihirnya, Snape mulai membagi-bagikan lembar soal kepada setiap anak, sementara itu Ron berbisik cemas ke arah Harry yang duduk persis di sebelahnya, “Harry, di mana Hermione?”

Harry ikut mengerling gelisah ke arah bangku kosong yang terletak dua baris di depannya, yang seharusnya ditempati oleh Hermione. “Err, Hermione… dia harus ikut ujian Aritmancy kan?” sahutnya sambil berbisik pula.

“Yeah, tapi itu sudah satu jam yang lalu,” balas Ron. “Mestinya dia sudah selesai sekarang. Soalnya kalau dia sampai datang terlambat, bisa-bisa Snape tidak bakal mengizinkannya ikut ujian, dan—ah, syukurlah, itu dia datang juga akhirnya…” Ron menghembuskan nafas lega ketika melihat Hermione muncul di muka kelas. “Mudah-mudahan dia masih boleh ikut ujian, ya…” Ron melirik arlojinya, “Yah, pasti bolehlah, baru terlambat lima menit, kok.”

Hermione, nafasnya terengah-engah dan rambut coklat lebatnya nampak berantakan, langsung berbicara kepada Snape. “Maaf saya terlambat, Sir.”

“Kau sudah tahu peraturannya,” Snape berkata dingin. “Bagi yang datang terlambat, tidak boleh ikut ujian.”



Wajah Hermione seketika memucat.

“Maaf, Sir,” Ron mengangkat tangannya. “Hermione datang terlambat karena dia harus mengikuti ujian Aritmancy sebelumnya yang pelaksanaan waktunya hampir berbarengan dengan ujian ini, dan saya rasa Hermione sudah berusaha mengerjakan ujiannya dengan secepat mungkin, dan setelah itu dia langsung bergegas datang kemari. Lagipula terlambatnya juga cuma lima menit kan, Sir.”

“Tutup mulut, Weasley,” Snape membentak Ron. “Kerjakan saja ujianmu.”

Wajah Ron menjadi merah padam dan ia menoleh ke arah Harry. Harry memang tidak berkata apa-apa, tetapi Ron bisa melihat wajah Harry mengeras dan tangan kanannya yang terkepal nampak bergetar menahan marah. Seisi kelas yang lain juga merasa sangat marah dan benci kepada Snape, namun karena mereka tahu tidak ada yang bisa mereka perbuat, semua anak pun memilih untuk diam saja.

“Nah, Miss Granger,” Snape kembali berkata, “Kurasa sebaiknya sekarang kau segera keluar dari kelas, supaya tidak mengganggu teman-temanmu yang sedang ujian…”

***

Dua hari berlalu sejak kejadian itu, dan sampai saat ini Hermione masih belum dapat melupakannya. Ia sendiri sudah menempuh segala cara, berbicara dengan Snape, bahkan sampai memohon-mohon, agar Snape mengizinkannya mengikuti ujian susulan, namun tak satu pun upayanya yang membuahkan hasil. Ini membuat Hermione sangat putus asa hingga tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Seperti di hari minggu ini, sementara seluruh murid menikmati sarapan pagi di Aula Besar, Hermione memilih duduk melamun sendirian di salah satu sofa di dalam ruang rekreasi Gryffindor, merenungi nasib malangnya.

Lukisan Nyonya Gemuk mengayun membuka. Harry dan Ron memanjat masuk ke dalam ruang rekreasi, berjalan menghampiri tempat Hermione, lalu duduk mengapit di kanan kirinya.

“Nih, kubawakan sarapan,” ucap Ron, mengulurkan setumpuk roti panggang yang dialasi tissu ke depan Hermione.

“Trims,” ucap Hermione, tetapi tidak menyentuh roti itu.

“Hermione, dimakan dong,” Ron membelalak kepadanya. “Aku kan sudah capek-capek membawakannya untukmu!”

“Aku tidak lapar, Ron.”

Ron menghela nafas, menatap Hermione dengan prihatin. “Hermione, kau tidak bisa begini terus,” ucapnya. “Yah, memang dasar brengsek si… (Ron menyebut Snape sesuatu yang biasanya membuat Hermione langsung berkata, “Ron!” –tetapi kali ini Hermione diam saja) …itu! Tapi mau bagaimana lagi? Sudahlah Hermione, tidak usah terlalu kau pikirkan. Cuma satu nilai ujian Ramuan ini, seberapa pentingnya, sih? Nilai-nilai ujianmu yang lain toh bagus-bagus semua. Jadi nanti kalau semua nilaimu dijumlahkan lalu dirata-ratakan, nilai ujian Ramuan itu nggak akan banyak lagi pengaruhnya, kan?” Dan separah-parahnya nilaimu pun, masih tetap yang paling tinggi dibandingkan nilai kami semua digabung jadi satu, Ron menambahkan. Dalam hati, tentu saja.

“Kau tuh nggak ngerti banget, yah,” Hermione langsung mendelik ke arah Ron. “Bukan cuma nilai itu yang kupersoalkan, tahu. Tapi aku sudah berencana mengambil beberapa mata pelajaran tambahan, dan semuanya mensyaratkan nilai Ramuan. Selain itu tahun depan kita akan menghadapi ujian OWL, kan? Atau mungkin kau berpikir aku bisa ikut ujian OWL sementara aku belum lulus Ramuan…?!”

“Bagaimana kalau kau mencoba membicarakannya dengan Profesor McGonagall?” Ron secepat kilat berubah haluan. “Mungkin beliau bisa membantumu, Hermione!”

“Kau pikir apa yang kulakukan dari kemarin?!” bentak Hermione. Ron langsung diam.

“Lalu McGonagall bilang apa?” tanya Harry, menatap Hermione tajam.

“Profesor McGonagall berkata akan berusaha membantuku dan bicara dengan Snape, tapi beliau tidak bisa menjanjikan apa-apa,” jawab Hermione. “Karena keputusan akhir tetap ada pada Snape, dan… dan…” Hermione menghentikan ucapannya, matanya nampak berkaca-kaca.

Ron langsung panik. “Whoaa… H-Hermione, ja-jangan nangis, dong!”

Harry masih menatap Hermione selama beberapa saat, lalu bangkit dari duduknya. Ia kemudian berjalan menyeberangi ruangan menuju lubang lukisan, diam-diam menyelinap keluar. Air mata mulai menggenangi wajah Hermione dan Ron kalang kabut berusaha menghiburnya, sehingga keduanya sama sekali tidak menyadari kepergian Harry.

***

Harry masih ingat ketika untuk pertama kalinya ia memasuki kantor Snape di awal tahun keduanya di Hogwarts dua tahun yang lalu. Jelas bukan pengalaman yang menyenangkan, dan saat itu pun ia sudah bersumpah sebisa mungkin ia takkan sudi menginjakkan kakinya di tempat itu lagi. Namun, ia harus melanggar sumpahnya sekarang. Menyusuri lorong bawah tanah yang gelap dan dingin, Harry merasakan setiap ayunan langkahnya memerlukan perjuangan ekstra keras, seolah tangga batu sempit yang dipijaknya terbuat dari bara panas. Namun Harry terus membulatkan tekad hingga akhirnya ia tiba di muka pintu kantor Snape yang tertutup rapat. Harry mengambil nafas dalam-dalam untuk kesekian kalinya, menghitung dalam hati dari satu sampai sepuluh, lalu mengangkat tangannya mengetuk pintu.

“Masuk,” terdengar sahutan dari dalam.

Harry membuka pintu, merasakan aura penolakan yang sangat kuat menerpanya. Ruangan kantor Snape berpenerangan remang-remang, dindingnya dikelilingi sejumlah rak tinggi menjulang yang sarat oleh ratusan stoples kaca berukuran besar berisi rupa-rupa cairan ramuan. Snape duduk menghadapi meja penuh tumpukan perkamen yang sedang digarapnya. Wajahnya sedikit terangkat ketika melihat Harry.

“Oh, kau,” ucapnya, mengernyit memandang Harry, seakan Harry adalah sesuatu yang tidak menyenangkan di sol sepatunya. “Ada perlu apa?”

Berusaha mengabaikan potongan-potongan berlendir tubuh hewan dan tumbuhan mengambang di dalam deretan stoples yang membuatnya mual, Harry berkata, “Saya… err… saya—ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan Anda, Sir.”

“Waktumu lima menit.”

Harry meneguk ludah. “Ini tentang Hermione,” ucapnya. “Saya mohon Anda mengizinkan dia mengikuti ujian Ramuan, karena—“

“Sudah kuduga kau datang untuk mengatakan itu,” sudut mulut Snape melengkung membentuk cibiran yang sudah sangat dikenal Harry. “Dan jawabanku tetap ‘tidak’. Jadi kusarankan jangan buang-buang waktumu, Potter.”

“Tapi untuk Hermione, mungkin Anda bisa memberi keringanan,” Harry mencoba terus. “Anda tentu tahu ujian ini sangat berarti baginya. Dia toh tidak pernah melanggar peraturan Anda sebelumnya. Dia juga Juara Kelas, Murid Teladan, dan… dan…”

“Percuma Potter,” cemoohan di wajah Snape semakin lebar. “Sekalipun kau berlutut memohon dan menciumi telapak kakiku, keputusanku tidak akan berubah. Nah, jadi kenapa kau tidak pergi saja sekarang?”

Harry ternganga menatap Snape, sulit mempercayai bahwa sosok penyihir yang ada di hadapannya ini adalah seorang guru. Bagaimana mungkin, seorang guru tidak memiliki hati nurani? Seluruh organ dalam tubuh Harry serasa mendidih.

“Anda keterlaluan,” Harry berkata, suaranya terdengar bergetar menahan marah. “Saya tidak mengerti, kenapa Anda tega berbuat ini terhadap Hermione. Sementara kemarin, saya melihat Anda mengizinkan seorang murid kelas tiga Slytherin mengikuti ujian Ramuan, padahal dia datang terlambat lebih dari lima belas menit—yeah, memang itu hak Anda—tapi kami semua sudah lama tahu, kalau Anda selalu menganak-emaskan murid-murid dari asrama Anda sendiri, dan bersikap tidak adil kepada murid-murid dari asrama lain, khususnya murid-murid Gryffindor. Saya juga tahu kalau Anda sangat tidak menyukai saya, bahkan mungkin sangat membenci saya—mungkin disebabkan perbuatan ayah saya dan teman-teman ayah saya kepada Anda bertahun-tahun yang lalu—saya bisa mengerti. Tapi kenapa Anda harus juga membenci semua anak Gryffindor, Hermione, Neville, atau teman-teman saya yang lain? Apa salah mereka terhadap Anda? Atau jangan-jangan, Anda sengaja menghukum Hermione cuma karena dia adalah sahabat saya? Kalau benar begitu—oh, Anda sungguh keterlaluan!”

“Potong dua puluh lima angka dari Gryffindor,” sepasang mata Snape berkilat berbahaya. “Berani sekali kau bicara kurang ajar seperti itu di hadapanku, Potter.”

Harry mengabaikannya, telinganya berdenging. Saat ini ia dilanda perasaan benci dan muak luar biasa terhadap segala sesuatu yang ada pada Snape dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Pada tirai rambut hitam berminyaknya yang menjijikkan, wajah pucatnya yang tanpa ekspresi, dan sorot mata bak lorong gelap yang seakan mampu mengebor isi otakmu. Akumulasi segala kekecewaan dan kemarahan atas perlakuan sewenang-wenang Snape terhadapnya yang dipendam Harry selama empat tahun ini, sekarang meledak-ledak dalam kepala Harry, dan semuanya menuntut untuk ditumpahkan paling dulu. Jadi Harry masih terus berucap dengan berapi-api.

“Anda pasti tahu kalau saya juga sangat tidak menyukai Anda,” lanjut Harry, memicingkan matanya ke arah Snape. “Dan saya pasti sudah sangat membenci Anda kalau saja tidak ada Hermione. Tapi Hermione selalu berkata kepada saya—bahwa apa yang saya rasakan terhadap Anda itu tidaklah benar. Setiap kali saya mulai membenci Anda, Hermione lalu mengingatkan saya kalau Anda pernah menyelamatkan nyawa saya waktu saya kelas satu, waktu Quirell mencoba mencelakai saya. Juga setiap saya berprasangka buruk kepada Anda, Hermione berulang kali membela Anda, dengan mengatakan bahwa Profesor Dumbledore—bahwa Profesor Dumbledore sangat mempercayai Anda. Dan tahukah Anda kalau Hermione sebenarnya sangat mengagumi Anda? Hermione pernah berkata kepada saya, bahwa Anda adalah seorang penyihir yang sangat hebat, salah seorang ahli ramuan paling jenius yang pernah dikenalnya. Tapi balasan apa yang Anda berikan padanya? Anda selalu saja menghinanya, merendahkannya, mengatainya sok tahu, menyebalkan, dan lain sebagainya—Anda sama sekali tidak pernah menghargainya sedikit pun!”

“Potong enam puluh angka dari Gryffindor!” Snape berteriak keras. “Sekali lagi kau lancang buka mulut di depanku Potter, aku benar-benar akan membuatmu menyesal telah dilahirkan.”

“Oh, hukumlah saya!” Harry balas berteriak lebih keras daripada Snape. “Kalau memang cuma itu satu-satunya cara untuk membalaskan sakit hati Anda atas apa yang pernah ayah saya lakukan kepada Anda—hukumlah saya! Saya bersedia menerimanya, seberat apa pun, tapi saya tidak akan pernah rela Anda melakukannya terhadap sahabat saya!”

Jeda panjang menyusul setelah ini. Harry tersengal kehabisan nafas, merasakan tubuhnya mendadak limbung dan pandangan matanya berkunang-kunang, sehingga ia harus berpegangan pada rak di belakangnya untuk menguatkan diri. Apa yang dilakukannya baru saja rupanya telah menguras habis seluruh energinya. Di sisi lain, Snape duduk membeku di bangkunya, ekspresi wajahnya tak terbaca. Menit-menit berlalu dalam keheningan yang mencekam, akhirnya dipecahkan oleh Snape.

“Detensi,” ucapnya. “Besok jam enam pagi di kantorku. Kita bicarakan detensimu.”

Lutut Harry langsung lemas.

“Sekarang pergilah,” lanjut Snape. “Temui Miss Granger. Katakan padanya untuk menghadapku di kantorku. Sekarang.”

“Hah?”

“Tunggu apa lagi, Potter?!” bentak Snape. “Cepat pergi!”

“Oh, iya, iya…” nyaris terbang, Harry melesat meninggalkan kantor Snape. Tetapi hatinya terasa jauh lebih ringan sekarang.

***

Ketika Harry kembali ke ruang rekreasi, dilihatnya kedua sahabatnya masih berada di sana, duduk berdampingan. Hermione sudah berhenti menangis, walau matanya masih nampak merah. Ron langsung berseru begitu melihat Harry muncul, “Hei, Harry! Kau habis darimana?”

“Cuma keluar sebentar,” jawab Harry, berpaling ke Hermione, “Hermione, tadi di jalan aku ketemu Snape, dan katanya dia ingin supaya kau menemuinya.”

“Oh, ada perlu apa ya…” Hermione bertanya keheranan (“Mau ngapain lagi sih, orang satu itu!” sengit Ron). Harry mengangkat bahu.

Masih ragu-ragu, Hermione bangkit dari duduknya. Ron ikut bangkit juga, seraya berkata, “Aku temani, ya,” tetapi Hermione langsung membentaknya, “Tidak usah!”

“Ti-tidak usah, terima kasih, Ron,” Hermione berkata lagi, dengan nada yang lebih halus, lalu berpaling ke Harry, “Snape bilang di mana aku harus menemuinya, Harry?”

“Di kantornya,” jawab Harry. “Dan sebaiknya cepat, Hermione.”

“Oke, aku akan langsung ke sana.” Hermione berjalan menuju lubang lukisan dan lenyap.

“Semoga tidak ada apa-apa, ya…” gumam Ron, mengawasi kepergian Hermione dengan cemas, lalu menoleh ke Harry. “Eh, Harry, ngomong-ngomong kau tadi habis darimana, sih? Kok mukamu merah semua gitu?”

“Sudah kubilang tadi cuma keluar sebentar,” bentak Harry yang saat itu isi kepalanya sudah dipenuhi oleh bayangan seribu satu macam detensi paling ajaib yang akan dijatuhkan Snape untuknya esok pagi.

***

Persis seperti yang dialami Harry, Hermione juga merasakan dasar perutnya langsung anjlok begitu ia mencapai muka kantor Snape. Namun kali ini Hermione tidak harus mengetuk pintu, karena daun pintu mendadak menjeblak terbuka dengan sendirinya waktu Hermione menyentuh pegangannya, seakan tahu Hermione akan muncul. Hermione melangkah masuk ke dalam kantor. Snape masih duduk di tempat yang sama.

“Duduk,” ucap Snape, dan Hermione langsung meraih salah satu bangku yang paling dekat darinya.

“Setelah kupikirkan,” Snape berkata lambat-lambat. “Aku putuskan untuk memberimu ujian susulan Ramuan hari senin besok jam satu siang di kantorku…”

Hermione begitu gembira mendengar ini sampai selama beberapa saat tak sanggup berkata-kata.

“…Jadi kau masih punya waktu dua puluh empat jam lebih untuk mempelajari ulang semua materi ujiannya, karena kupastikan soal-soalnya nanti akan sangat berbeda. Tapi kurasa kalau untukmu, waktu sebanyak itu sudah lebih dari cukup.”

“Oh, yeah, tentu saja. T-terima kasih, Sir…”

“Sekarang kau boleh pergi,” lanjut Snape, dan Hermione pun bangkit dari duduknya. “Kutunggu kau besok jam satu siang tepat di kantorku, dan…” Snape menambahkan ketika Hermione sampai di ambang pintu, “…jangan sampai terlambat lagi.”

Hermione memaksa tersenyum. “Oh, tentu saja tidak. Tidak akan, Sir.”

***

Harry merasakan kepalanya berdenyut nyeri ketika pukul enam keesokan paginya ia kembali melakukan perjalanan menuju kantor Snape. Semalam ia memang tidak bisa tidur, selain sibuk mereka-reka vonis terburuk macam apa yang bakal ia terima dari Snape hari ini, lebih dari itu, Harry kembali terbayang semua perbuatannya terhadap Snape kemarin, dan ini membuatnya bertanya-tanya sendiri, darimana ia mendapatkan keberanian—atau mungkin lebih tepatnya kenekatan luar biasa—untuk berbicara seperti itu kepada Snape. Harry berpikir mungkin sikapnya sudah kelewatan, dan memutuskan tidak ingin mencari perkara lebih jauh lagi dengan Snape. Itulah sebabnya, pagi ini ia bertekad datang ke kantor Snape tepat waktu.

Harry mengetuk pintu dan masuk ke dalam kantor, dilihatnya Snape tengah sibuk menulis sesuatu di atas sehelai perkamen di mejanya, sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Harry.

“Err—Sir…” Harry menyapa ragu-ragu.

“Oh, kau,” Snape menyahut sambil lalu, masih berkonsentrasi pada tulisannya dan berbicara tanpa memandang ke arah Harry. “Ada perlu apa datang pagi-pagi begini ke kantorku?”

Harry melongo. “Lhoh, Sir… kemarin kan, Anda menyuruh saya datang ke kantor Anda… untuk—err, membicarakan detensi saya…?”

“Oh, soal itu,” gumam Snape. “Sudahlah, lupakan saja.”

“Hah?”

Lupakan saja,” ulang Snape, menyaksikan Harry yang makin terbengong-bengong. “Sekarang cepat pergi sebelum aku berubah pikiran.”

Tetapi Harry bergeming. Menatap Snape lama seakan mengalami pergolakan batin yang menyakitkan, Harry akhirnya berkata, “Hermione ternyata benar. Mungkin Anda memang tidak seburuk yang saya duga. Mungkin saya yang selama ini telah salah menilai Anda.”

“KELUAAAAARRR!!” Snape mengaum. Ia telah bangkit berdiri, mengacungkan telunjuknya secara dramatis ke arah pintu. “KELUAR KAU SEKARANG JUGA DARI KANTORKU, POTTER!! KELUAR KAU!!”

Harry berbalik dan pergi.

Snape masih berdiri, sepasang matanya menatap nanar ke arah pintu tempat Harry baru saja menghilang beberapa detik yang lalu, sekujur tubuhnya berguncang hebat.

Oh, terkutuklah kau James Potter, terkutuklah kau! Kupikir setelah kematianmu, aku sudah terbebas darimu dan bisa melanjutkan hidupku dengan tenang. Namun ternyata dugaanku salah, karena setiap kali aku melihat anak laki-lakimu itu, aku seperti melihatmu hidup kembali di depan mataku. Oh, sialan kau James Potter! Kenapa kau tak bisa berhenti menggangguku? Aku yakin saat ini pun, dari alam kuburmu kau pasti sedang menertawakanku!


FIN.




© Mela Muggle 09 Januari 2010. Happy Snape Day ^_^ V

1 comments:

ajijah said...

lucuuuu banget!!!
keren keren critanya ambu :D
unyuuu :P