It’s About Him Life
Harry Potter kepunyaan JK Rowling
Genre: drama
Rating: K
Prang!!
Pecahan cangkir melayang ke ujung ruangan. Ruangan yang tertata rapi, dimana sebagian besar interiornya menunjukkan kepribadian sang empunya ruangan. Seorang Kepala Sekolah di sekolah Hogwarts. Pigura-pigura dimana tergambar sosok para kepala sekolah Hogwarts sebelumnya terpasang mengitari sisi-sisi dinding. Sesosok pria berwajah pucat dan tirus, dengan rambut berbelah tengah dan tampak lepek berdiri di tengah ruangan. Jubah panjang tergerai dari bahunya. Salah satu tangannya tampak mengucurkan darah, sementara tangan kirinya memegang meja –satu-satunya meja didalam ruangan tersebut—dengan kuat. Tangannya menggenggam erat pecahan cangkir yang pecah. Tak dipedulikannya darah yang semakin lama semakin banyak mengucur dari luka yang ia derita.
Bagaimana mungkin seorang Severus Snape tampak lemah? Ia tidak mungkin berbelas kasihan kepada orang lain. Terlebih apabila orang lain tersebut adalah seorang Potter! Seseorang yang seumur hidup Snape tak akan pernah bisa ia maafkan, bagaimanapun upaya yang diberikan oleh Potter –anak ataupun ayahnya-- untuk meminta maaf kepada dirinya. Musuh abadi Snape.
Severus Snape menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya dengan lelah. Tak pernah terbayangkan oleh Snape saat ia pertama kali bertemu dengan Lily, cinta pertama Snape, beberapa belas tahun yang lalu. Wajah manis dan rupawan serta mata hijau milik Lily mau tidak mau telah memikat hati Snape, seorang anak lusuh, berpakaian layaknya seorang anak terlantar dan aneh. Saat itu Snape tak ubahnya bagaikan seorang anak dari keluarga broken home. Orang tua yang senantiasa bertengkar serta mengacuhkannya. Melihat Lily, hati Snape bagaikan seekor lebah yang menemukan sekuntum bunga. Bunga yang halus dan cantik. Saat itu Lily belum mengenal dunia sihir, berbeda dengan Snape yang tentu saja sudah akrab dengan dunia sihir.
Pikiran Snape melayang ke saat itu, saat dimana wajah manis dan mata hijau Lily terperangah mendapat pernyataan yang akan merubahkan hidupnya, serta menentukan akhir hidupnya.
”Sudah jelas, kan?” Snape keluar dari balik semak –tempat ia memperhatikan kedua kakak-beradik Evans— dan berujar pelan menyapa serta mengagetkan kedua sosok dihadapannya, sosok Lily Evans dan Petunia Evans. Rona wajah Snape tampak memerah, ia tak terbiasa menyapa orang lain terlebih dahulu seperti ini. Apalagi kedua sosok didepannya ini adalah muggle. Oh, tentu saja tidak! Hanya salah satunya saja, of course...
”Apa yang jelas?” tanya Lily, masih memandang Snape dengan bingung.
”Aku tahu kau ini apa,” lanjut Snape.
”Apa maksudmu?”
”Kau... kau penyihir,” bisik Snape.
Snape kembali tersadar dari lamunannya. Ia memandang salah satu lemari disudut ruangan. Lily tampak tak percaya dan merasa sangat terhina saat mendengar sebuah kata ’penyihir’ dari mulut Snape. Namun, tak terlalu butuh waktu lama bagi seorang Lily Evans mempercayai kenyataan itu. Ia cepat percaya dan menjadikan Snape sahabatnya. Percaya kepadanya walaupun Snape tahu, ia tak pantas mendapatkan kehormatan seperti demikian. Snape memandang dirinya, tubuh ringkih yang bahkan tak bisa sedikitpun digunakan untuk melindungi seorang Lily.
Hog’s Head. Tempat dimana Snape menjadi saksi mata sekaligus pendengar sebuah ramalan kecil tapi bermakna besar untuk merubah seluruh jalan hidup seorang Severus Snape. Ia yang telah beralih mengikuti sihir hitam, mendengar ramalan dari seorang Sybill Trelawney yang dikatakan kepada Albus Dumbledore.
”Yang memiliki kekuatan untuk menaklukan Pangeran Kegelapan sudah dekat... Dilahirkan kepada mereka yang telah tiga kali menantangnya, dilahirkan bersamaan dengan matinya bulan ketujuh...” Snape akan membuktikan bahwa dirinya patut dipercaya kepada Lord Voldemort, maka sepedengar kalimat ramalan itu, Snape bergegas menemui Lord Voldemort.
Snape datang dihadapan Lord Voldemort, dihujani dengan berbagai tatapan dari para pelahap maut lainnya. Jubah kehitaman mereka semua tampak membaur dengan malam, dan membuat siapapun tak akan mampu mengenali mereka satu demi satu sebelum bergabung dan menjadi salah satu bagian dari para pelahap maut itu. Ia memberitahukan semua yang ia dengar dan bahkan ia merelakan pikirannya dibaca dengan cara yang menyakitkan oleh Lord Voldemort. Merelakan sebagian memorinya dihisap dan dibaca hingga tuntas oleh seorang Lord Voldemort.
”Kau telah melaporkan hal besar buatku Snape. Tidak sia-sia aku menaruh kepercayaan sekaligus mata-mata didepan hidung Dumbledore,” ucap Lord Voldemort dengan dingin, masih menghujamkan tatapan kepada Snape yang menunduk didepannya. Mulut Snape tersungging senyum kemenangan, ia kini telah dapat membuktikan kepada pelahap maut lainnya, betapa ia sangat berharga dan dapat dipercaya. Lord Voldemort tampak berpikir sejenak sebelum mengeluarkan kalimat lainnya. ”Ramalan itu menunjuk kepada anak keluarga Potter. Bunuh habis keluarga Potter!”
Snape sangat terperanjat. Ia tak menginginkan kematian Lily Evans, dan masa bodoh dengan anak ataupun suaminya. Potter sialan! ”My Lord, kumohon untuk tidak menyakiti Lily Evans. Aku menginginkannya.” Snape membungkuk semakin dalam, tak ingin wajah maupun perasaannya diketahui oleh Lord Voldemort.
Snape mengepalkan tangannya semakin keras. Ia tak pernah mempercayai Lord Voldemort, betapapun ia telah lama mengabdi kepadanya, baik sebagai seorang hamba yang setia maupun sebagai seorang mata-mata. Dan karena ketidak percayaan Snape kepada seorang Lord Voldemort, di ruangan inilah ia berada bertahun-tahun lalu. Memohon belas kasihan kepada Albus Dumbledore.
”Aku—datang membawa peringatan—bukan, permohonan—tolong—” ucap Snape bersusah payah. ia tampak frustasi dan putus asa, rambutnya tampak berantakan dan peluh mengalir di wajahnya.
”Permohonan apa yang bisa diajukan seorang pelahap maut kepadaku?” tanya Dumbledore. Ia tampak tenang dan tak terganggu.
”R—ramalan... prediksi... Trelawney...” Snape menarik nafas sesaat. ”Aku menceritakan semua yang kudengar!” jerit Snape frustasi. ”Dan Dia beranggapan bahwa itu adalah Lily Evans!”
Yeah, percakapan awal yang membawa status baru seorang Severus Snape. Seorang agen ganda. Tak diakui keberadaannya di kedua belah pihak, namun sekaligus dibutuhkan. Tak ada yang tahu alasan mengapa ia berbuat demikian.
”Kalau kau mencintai Lily Evans, maka jalanmu sudah jelas,” ucap Dumbledore pada Snape, sesaat setelah Lily Evans dikabarkan meninggal.
”Apa—apa... maksudmu?”
”Kau tahu bagaimana dan mengapa dia mati. Pastikan kematiannya tidak sia-sia. Bantu aku melindungi anak Lily...”
”Baiklah. Baiklah. Tapi jangan pernah—jangan pernah bilang siapapun, Dumbledore! Ini hanya kita berdua. Bersumpahlah! Aku tak tahan... Apalagi anak Potter... aku menginginkan janjimu!”
Tahun demi tahun dilewati seorang Severus Snape, tak terhingga berapa kali seorang Snape yang disegani sekaligus dipandang curiga oleh sesama rekan di Hogwarts bertransformasi hanya untuk melihat dan mengawasi seorang Harry Potter tumbuh dewasa, menuju ke umur dimana ia pantas masuk ke Hogwarts. Ia tak pernah sekalipun muncul dihadapan seorang Harry Potter kecuali saat didapatinya Dudley Dursley mengganggu Harry. Hanya satu kali.
Harry memandang iri kepada bola yang berada di tangan Dudley, bola yang baru saja dibelikan oleh Paman Vernon sebagai hadiah ulang tahunnya. Harry sudah tahu mengapa dia dianak-tirikan, namun masa-kan meminjam bola hanya untuk sesaat pun tidak boleh? Ia dengan tangan mungilnya berusaha menggapai bola yang diayunkan tinggi-tinggi oleh Dudley.
Dudley yang melihat Harry akan merebut bolanya, dengan sengaja memegang bola itu kuat-kuat sebelum melemparnya ke tengah jalan raya. ”Tangkap kalau kau bisa!” teriak Dudley dengan suara anak tujuh tahun.
Harry tak memperdulikannya, kesempatan dimana Dudley melepaskan mainan yang ia punya amat-sangat-jarang terjadi. Maka ia berlari mengejar. Mengejar hingga ke jalan raya, tanpa pernah memperdulikan sebuah mobil berjalan dengan kencang ke arahnya.
Snape melihat semuanya tentu saja, dan ia segera menyebutkan matra non-verbal kepada bola yang melambung tinggi itu, hingga mendarat dengan selamat langsung ke pangkuan tangan Harry. Sekaligus meng-confundus sang pengemudi mobil untuk menghindarkan bahaya baginya. Yeah, kali pertama Snape menyelamatkan Harry. Sesuatu yang tidak diketahui orang lain, bahkan oleh Dumbledore sendiri.
Snape menghembuskan nafas kesal. Dipandangnya tetesan darah yang menggenang di bawah tangannya yang terluka. Matanya melirik ke arah kaki kanan yang tersingkap dari ujung jubahnya. Sebuah luka bakar nampak disana. Luka bakar yang tentu saja tak akan pernah dilupakan oleh seorang Severus Snape.
Semua mata memandang kearah sesosok anak dengan Nimbus Dua Ribu yang mengangkasa serta bergerak dengan brutal. Sang anak berkacamata dengan rambut berantakan terlihat masih berusaha mengendalikan sang sapu yang semakin lama semakin liar. Harry Potter. Anak dari Lily Evans. Anak yang bertahan hidup. Bertahan hidup dengan mengorbankan Lily! Akan terasa mudah dan sangat menyenangkan apabila Snape dapat menutup mata dan mengacuhkan kejadian di hadapannya ini. Yeah, sangat mudah dan ia dapat melihat anak itu mati. Mati.
Namun, tegakah Severus Snape melakukan hal demikian? Tak butuh waktu lama bagi seorang Severus Snape mendengarkan jawaban dari hatinya. Bisikan yang semakin lama semakin serupa dengan suara merdu Lily yang ia kenal selama ini. Bisikan yang telah membuatnya merapalkan mantra untuk menyelamatkan nyawa yang diambang maut itu.
Mantra yang ia rapalkan baru setengah jalan saat terdengar teriakkan lainnya. ”Api.. Api!” jerit seseorang disamping Snape. Ia menoleh terkejut kepada jubah yang ia kenakan. Terasa sakit dan panas saat api yang entah darimana munculnya membakar jubah serta sebagian kulit kakinya. Kontak mata terputus tentu saja, mana mungkin Severus Snape tetap dapat memperhatikan sapu Harry bilamana ia mesti menyelamatkan hal penting lainnya. Tapi gangguan terhadap sapu Harry berakhir cepat seiring dengan kemunculan mendadak api di jubahnya. Mata Snape memandang tajam ke arah Professor Quirrell, memberi tatapan yang mengintimidasi, yang dibalas dengan tatapan gugup dan tajam.
Kali pertama seorang Severus Snape menyelamatkan anak musuh bebuyutannya di lingkungan sekolah. Kejadian itu telah meninggalkan bekas luka bakar di kaki Snape. Ia tahu yang membakar jubahnya adalah satu dari sekian teman-teman Harry, entah Hermione Granger atau Ronald Weasley. Dan bohong besar apabila Snape tidak tahu bahwa mereka semua menaruh kebencian mendalam terhadap dirinya. Ia tak perduli tentu saja, buat apa memperdulikan seorang anak kecil yang tak berharga heh?
Penyelamatan anak pembawa masalah itu –persis seperti ayahnya—berulang-ulang mesti dilakukan oleh seorang Severus Snape. Tak terhitung betapa malam-malam yang menyakitkan baginya mesti ia lakukan bersama kenangan akan seorang Lily di hadapan wajah Harry saat belajar Occlumancy. Atau malam lainnya saat ia berusaha mencegah Harry melakukan tindakan bodoh dan pergi ke Kementrian Sihir. Saat ia melindungi tiga sekawan itu dari terjangan manusia serigala yang dahulunya adalah guru mereka. Bahkan ia, seorang Severus Snape sudah tak mampu lagi berapa kali ia menyelamatkan Harry dan entah kapan ia mulai merasakan motivasi yang berbeda.
Malam itu, Severus Snape berdiskusi tentang sesuatu bersama dengan Albus Dumbledore didalam ruangan yang sama.
”Jika tiba saatnya Nagini tidak disuruh-suruh melakukan tugas diluar jangkauan Voldemort. Dan ia dijaga agar tetap aman disisinya dalam proteksi sihir., maka sudah saatnya untuk memberitahu Harry,” ucap Dumbledore.
”Memberitahu apa?” tanya Snape.
Dumbledore menarik nafas dalam-dalam dan berujar pelan. ”Memberitahunya bahwa pada malam ia dapat bertahan hidup, Lily memasang tameng baginya dengan nyawanya sendiri. Kutukan Maut memantul kepada Voldemort dan seserpih jiwa Voldemort tercabik dari keseluruhannya dan menempel pada satu-satunya jiwa yang masih hidup didalam bangunan rumah mereka. Sebagian dari jiwa Voldemort hidup dalam jiwa Harry. Dan selama jiwa itu ada, Voldemort tidak akan mati.” Dumbledore menarik nafas dalam. ”Dan Voldemort sendiri yang harus melakukannya. Ini penting.”
”Jadi... Anak itu harus mati?” Severus Snape terperangah, ia terkejut mendapat pernyataan seperti demikian. ”Kupikir... selama bertahun-tahun ini... kita melindunginya untuknya. Untuk Lily.”
”Kita melindunginya, karena perlu sekali untuk mendidiknya, membesarkannya, membiarkannya mencoba kekuatannya,” kata Dumbledore.
”Kau mempertahankannya untuk tetap hidup supaya bisa mati pada saat yang tepat?” Snape menarik nafas panjang. ”Aku sudah menjadi mata-mata untukmu, berbohong untukmu. Semuanya dimaksudkan untuk menjaga anak Lily Potter tetap selamat. Sekarang kau memberitahuku kau membesarkannya seperti hewan yang akan disembelih—”
”Ini mengharukan Severus. Apakah kau kini telah menyukai anak itu, akhirnya?”
”Menyukai dia?” teriak Snape. ”Expecto Patronum!” Dari ujung tongkat sihir Snape muncul sesosok rusa betina keperakan. Rusa itu mendarat di lantai kantor dan melesat keluar dari jendela. Dumbledore mengawasinya terbang menjauh, dan ketika cahaya perak memudar, dia menoleh kembali kepada Snape, dan matanya penuh dengan air mata.
”Setelah sekian lama ini?”
”Selalu.”
Kejadian yang selalu tak pernah bisa lepas dari pikiran Snape, saat dimana ia dipaksa untuk mengakui betapa ia sangat menyayangi seorang Harry Potter, entah sejak kapan. Kejadian yang sekaligus menyadarkan kepada dirinya, bahwa cinta dapat merubah kebencian sekental apapun menjadi cair dan berubah. Dirinya beberapa tahun yang lalu, tidak akan pernah bisa memaafkan maupun menerima keberadaan Lily sebagai istri keluarga Potter, namun kini dirinya dapat menerima keberadaan Harry sebagai anak Lily Potter.
Mengapa aku tahu itu semua? Mengapa diriku dapat mengetahui semua yang ada didalam hati dan pikiran seorang Severus Snape, agen ganda kepercayaan Albus Dumbledore yang menaruh kepercayaannya kepada pihak putih dan senantiasa bekerja di wilayah abu-abu.? Ini dikarenakan aku selalu berada didekatnya, tak lepas dari sentuhan tangannya dan tentu saja aku turut serta membantu dia dalam melakukan semua rencana dan perintah yang diberikan kepadanya.
Snape tersadar dari lamunannya, dengan acuh tak acuh diambilnya diriku yang telah beberapa saat tergeletak tak disentuh diatas meja. Ia merapalkan kalimat mantra non-verbal untuk menyembuhkan luka berdarah akibat meremukan segelas cangkir dengan tangan kosong, akibat dari kekecewaannya terhadap kematian Lily Potter, sebelum akhirnya ia beranjak keluar ruangan kantor. Yeah, aku hanya sebatang kayu lusuh yang tak berharga, namun pemilikku adalah seorang patriot, ia seorang Slytherin sejati, dan aku bangga kepadanya...
Natalina
7 Januari 2010
Severus Snape adalah karakter paling kompleks, membuat penasaran dan kunci dalam cerita Harry Potter Dibenci sekaligus dicintai
Ketabahan, keteguhan hati serta keberanian ada didalam dirinya
Seseorang yang berbaju hitam tak selamanya berhati hitam, dan itu berlaku untuk seorang Severus Snape
Happy Birthday Severus!
1 comments:
I looovveeeee it!
That means I can't say anything else, except I LOVE IT!
Post a Comment