Link aslinya ada di sini
Dan akhirnya HTF kembali diapdet oleh saya, Psychochiatrist. Maaf kalo jarang nongol, sodara-sodara, kita memang masing-masing sibuk dengan perkuliahan dan pekerjaan. Mohon dimaklumi!
Kisah (yang teramat sangat) pendek di bawah diikutsertakan untuk Snape Day. Selamat ulang tahun ke-51, Severus, semoga kau berbahagia!
--------------------------------------------------------------------------------
Kisah (yang teramat sangat) pendek di bawah diikutsertakan untuk Snape Day. Selamat ulang tahun ke-51, Severus, semoga kau berbahagia!
--------------------------------------------------------------------------------
HARRYPOTTER TREE FRIENDS
Dungeon Smoochies
Featuring: Severus Snape
Dungeon Smoochies
Featuring: Severus Snape
.
.
.
Suasana ruang bawah tanah itu masih sesuram dan sesenyap biasanya. Severus Snape tengah berdiri di tengah ruangan, wajahnya menyiratkan kalau dia sedang berpikir keras. Dibiarkannya rambutnya yang berminyak menjuntai membingkai hidungnya, tak peduli. Dia sedang menanti gagasan.
Mau membuat ramuan apa hari ini?
"Ah, kemarin Dumbledore berpesan agar aku meracik formula baru untuk Ramuan Jati Diri," gumamnya pada diri sendiri. Boleh kan, dia mencobanya sekarang?
Sebagai pembuat ramuan yang handal, Severus memang menghabiskan sebagian besar waktunya di sana—di ruang bawah tanah. Memotong-motong akar kayu ajaib. Menumbuk daun-daun magis. Merebus dan menyaring sari pati alam untuk dijadikan konsumsi manusia. Dia suka itu, menyenangkan.
Setelah menyalakan api, Severus membiarkan kualinya memanas sementara ia mulai mengiris-iris tanaman sihir langka yang dimilikinya. Kebiasaannya selalu begitu tiap bekerja. Tenang, sesuai prosedur, jangan gegabah.
Tapi bahkan seorang Severus Snape pun bisa ceroboh, sekali-dua kali.
Kualinya yang berisi air rebusan itu tengah mendidih nyaris ke bibirnya saat Severus menghampiri si kuali sambil membawa irisan tumbuhan itu. Apinya harus ia kecilkan.
"Ah!"
Tongkatnya tertinggal beberapa meter jauhnya, di meja tempat ia mengiris tadi. Apa boleh buat, tumbuhan ini dimasukkan ke kuali duluan.
Namun… cessshh!
Severus terpana. Blup-blup-blup-blup…
Daun-daun irisan tadi sebagian jatuh ke luar kuali, dan beterbangan ke dekat dasar kompor. Dan pada dasarnya, api selalu mencari media untuk tempat nyalanya. Dalam sedetik, daun-daun itu tersambar api kompor yang dinyalakan secara sihir itu.
"Ti-tidak!" seru Severus.
Terlambat. Blup-blup-blup-blup…
Air yang tengah mendidih itu menjadi semakin panas dan melimpah keluar dari kuali. Menggelegak. Membuat wajah memerah. Dan air itu memercik.
Cessshh!
"Aaaargh!" Air panas mengguyur jari-jarinya. Menyakitkan sekali, seperti disiram api neraka!
Di depan matanya, jari-jari tangan Severus mulai melepuh. Merah. Menyala seperti balon…
Karena kesakitan, ia terhuyung.
Menabrak kuali yang sedang mendidih penuh air.
Severus lagi-lagi memekik ketika sekuali penuh air membanjiri lantainya. Kualinya berguling pelan di atas bara api—api yang tidak akan padam kena air, karena dinyalakan dengan sihir. Lalu dia terpeleset—kesalahan paling fatal yang dilakukannya saat itu…
Telak dan jitu sekali—si pria berjubah hitam itu terjatuh ke genangan air yang menggelegak dan berasap. Tubuhnya seketika bergetar hebat, seakan disetrum listrik. Tapi tak akan ada yang bisa menjelaskan rasa sakit yang menyengat di sekujur tubuhnya—luka bakar berat yang melandanya dalam sekian detik, pembuluh-pembuluh darahnya yang melebar dan pecah, dan kulitnya yang gosong dan jaringannya mati…
"To—long…" Severus masih bicara, sekadarnya.
Hidupnya memang tinggal sekadarnya. Karena kemudian, kuali yang sudah amat sangat panas itu mencapai titik jenuhnya. Apinya menyala makin besar, menjilati logam hitam itu, yang kemudian seperti hendak meleleh, namun hal lain terjadi.
Kuali hitam itu melesat dari kompor dan terbang seperti berondong jagung masak, melintasi ruang bawah tanah. Dan seisi ruangan itu mendadak mirip kapal pecah: kualinya menabrak apapun yang tergeletak rapi—deretan pisau, timbangan berat, dan mangkuk-mangkuk kaca…
Lalu si kuali mencapai tempat mendaratnya yang terakhir.
Wajah Severus tadinya masih mirip manusia, meskipun air mendidih merembes masuk ke matanya dan membakar seluruh wajahnya. Namun, begitu kuali itu terjatuh menghantam kepalanya yang berselubung rambut hitam…
…tak ada yang tersisa, kecuali keping-keping organ merah muda yang matang terebus.
.
.
.
Pagi yang cerah di ruang bawah tanah.
Sebenarnya tidak bisa dibilang begitu, karena ini kan ruang bawah tanah. Mana ada cahaya matahari? Namun Severus Snape membuat jendela ajaib di salah satu dindingnya, mirip seperti yang ada di kantor Kementerian. Jadi, terkadang dia bisa membuka gorden kalau sedang membutuhkan pemandangan di atas tanah.
Hari ini Severus ingin memasak. Jarang-jarang, bukan?
Dia hanya sedang ingin menikmati hari yang berbeda. Memang aneh sekali, seorang Severus, pada pagi hari membuka gorden dan membiarkan ruang bawah tanahnya terang benderang, lalu mulai memasak. Seharusnya tak perlu. Bukankah di sini ada peri-rumah?
Memasak bukanlah hal yang sulit baginya. Bagaimanapun, dia adalah ahli Ramuan. Sedikit-banyak, tata cara meramu dan memasak ya sama saja. Meracik makanan sama saja dengan meracik obat—dan begitulah dia kemudian memulai.
Sampai kemudian (hampir) selesai.
Kualinya yang hitam berkilauan itu—yang biasanya menampung cairan obat atau ramuan mujarab—kini terisi penuh oleh sup ayam yang beraroma menggiurkan. Ini akan jadi santapan menyenangkan untuk hari ini.
"Makan siang segera siap," ujar Severus kepada dirinya sendiri.
Dia mencicipi masakannya itu dalam satu sendok kecil, dan mencoba menerka apa lagi yang kurang. Garamnya rasanya sudah cukup. Gula, sudah juga. Apa dia perlu menyemplungkan beberapa bahan rempah dari Timur lagi?
"Ah! Lada?"
Tentu. Satu-satunya yang kurang dari sup ini adalah ladanya.
Severus mencari-cari di mejanya sampai ia menemukan sebotol penuh lada baru yang masih belum pernah digunakan. Setelah melepaskan segelnya, Severus berjalan dengan penuh semangat menuju kuali berasapnya dan mencoba memutar tutup botol lada yang nantinya akan terbuka menjadi lubang-lubang kecil.
"Susah… sekali…" Dia mencoba memutar tutupnya ke kiri namun gagal. Ke kanan, juga tak bisa. Ada apa dengan botol lada ini?
Akhirnya Severus menyambar tongkat sihirnya.
Dia menunjuk botol itu dan mengucapkan beberapa kata sihir. Namun sayang sekali, sepertinya dia salah memperkirakan kekuatan sihirnya! Tutup botol lada itu terlepas begitu saja dan baik botolnya maupun tutupnya jatuh berdentangan ke lantai…
…dan seluruh isi botol itu tumpah ruah, menciptakan gunung tepung.
"Hatsyii!"
Tongkat sihir Severus jatuh. Hidungnya—yang mungkin dipengaruhi oleh ukurannya—rupanya lebih sensitif terhadap udara pedas. "Hatsyii! Hatsyii!"
Severus berjongkok dan berusaha membersihkan tumpukan lada putih yang masih terus mengepul di udara itu. Percuma. Seluruh isi botol itu sudah bertumpahan dan tak ada yang bisa ia lakukan—semakin ia mendekatinya, semakin keras bersinnya—dan dia menutupi hidung dengan telapak tangan, sebuah usaha bodoh, karena tangannya penuh dengan serbuk-serbuk lada.
"HATSYII!"
Dia tak tahan lagi. Sistem jalan napasnya sudah berkali-kali memberi reaksi bersin, dan sekarang kepalanya sakit, wajahnya memerah, matanya berair…
Severus bertelekan pada kedua telapak tangannya untuk bangkit dari posisi berlutut itu. Rasa gatal yang amat sangat menggelitik rongga hidungnya. Astaga, nasibnya memang sial sekali. Tapi mungkin belum terlalu sial.
Ia membuka mulutnya dengan rasa geli di tenggorokannya.
"Haaaat—SYIII!"
Lalu hening.
Tak terdengar apa pun, selain kuali sup yang menggelegak mendidih. Di lantai, tampak tepung putih lada bertaburan. Merah.
Dan dua pasang mata bertengger di atas gunung lada itu seperti cherry-on-top.
.
.
.
Patah hati.
Severus Snape sedang patah hati.
Oh, dia baru saja mendengar kabar bahwa Lily Evans akan menikah dengan si… si… orang itu. Orang yang namanya bahkan tak sanggup Severus sebutkan. Terlalu menyakitkan.
Dengan geram ia mencengkeram pisau di tangannya. Gemas.
Tidak, Severus bukannya mau bunuh diri. Dia hanya sedang berada di ruang bawah tanah—seperti biasa, berkutat dengan meja panjang dan lemari bahan dan—tentu, kualinya yang tersayang. Meramu, satu-satunya hal yang membuatnya tenang. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan jika ingin meredam tekanan batinnya.
Dan dia masih mencengkeram pisaunya dengan tangan gemetar.
Severus sedang berdiri menghadapi akar-akar Gurdy panjang di meja, berniat memotong-motongnya jadi potongan-potongan kecil. Susah sekali. Dengan bayangan Lily Evans yang terus berkelebat seperti jubah hitam yang selalu dipakainya, bayangan Lily, bersanding dengan si… si… orang itu…
"Sudahlah!" serunya sambil meletakkan pisaunya dan menghampiri botol berisi sisik Naga. Dia masih belum tahu akan membuat ramuan apa, tapi tampaknya, dia akan membiarkan pikirannya memilih bahan secara acak dan mencoba menerka khasiatnya belakangan. Dia sering sekali melakukan teknik itu—meskipun jarang berhasil, tentu saja.
Sisik-sisik Naga itu, meskipun sudah dipotong dan entah bagaimana diparut jadi serutan-serutan kecil, tetap saja runcing-runcing saat Severus menuangnya ke dalam kuali. Dan dia meraih botol besar berisi bisa ular air Italia, sesaat mempertimbangkan apakah ia akan membuat racun saja. Tapi saat ini hal itu berisiko. Dia bisa saja malah memutuskan bunuh diri besok pagi dengan racun yang diramunya malam ini.
Dengan pandangan kabur dan ekstremitas goyah, Severus kembali ke pisaunya.
"James… Potter." Si orang itu. Selama ia memberondongi akar Gurdy-nya dengan cabikan-cabikan sadis yang sama sekali tak rapi, dia melafalkan nama biadab itu. "James Potter… James Potter."
Tapi rupanya rapalan nama dari mulutnya tak bertahan lama.
Begitu Severus mulai memotong akarnya yang ketiga, gerakan tangannya semakin tidak stabil dan hanya menyerupai gerakan seperti menebas dan mendestruksi. Tidak beres. Sama seperti otaknya yang seakan hancur lebur dan tak bisa digunakan lagi. Tangannya membabi-buta.
Dan ketika itulah jari tangannya terpotong.
Rasa nyeri spontan membuatnya berhenti memotong akar dan melepas pisaunya. Telunjuk kirinya putus. Tepat pada sendi distal.
Severus menjerit.
"Jariku! Jariku!" Darahnya membasahi tumpukan akar Gurdy dan seluruh meja kayu. Severus terlonjak dan terus melompat-lompat kesakitan, dan potongan jarinya terbang entah ke mana—mungkin mendarat pada setumpuk mata ikan di sudut.
Dia menabrak sejumlah besar barang ketika meloncat-loncat menahan sakit. Dan ia tak bisa berhenti—tidak sebelum rasa sakit ini berhenti; tidak sebelum ada yang menyembuhkan kekuatan dobel yang membuatnya nyeri ini—sakit hati, dan sakit jari…
Sebuah bunyi dentang hebat menunjukkan bahwa Severus baru saja menabrak kualinya yang belum dinyalakan.
Dia nyaris jatuh—tidak jatuh, tapi yang jelas sisik-sisik Naga di dalam kuali itu berhamburan keluar dan menghantam tubuhnya—lebih keras daripada yang pernah ia bayangkan. Runcing seperti pisau yang baru diasah. Dalam sekejap, sisik-sisik itu menancap di wajah dan dadanya.
"Tidaaak!" jerit Severus. Satu keping sisik Naga telah mendarat di sisi kepalanya, merobek daun telinganya.
Tangannya yang tidak terluka memegang telinganya—dan rasanya jadi semakin sakit. Dia bergerak—kehilangan keseimbangan—dan jatuh ke satu sisi menjauhi kuali.
"Argh!" Severus menabrak meja tepat di mana botol cairan bisa ular bahan baku racun tadi berdiri.
Malangnya, botol itu tidak tertutup rapat. Segera saja si botol terguling dan isinya berceceran ke lantai, dan Severus terus melompat-lompat lengah—sehingga dia terpeleset.
Benar-benar terpeleset. Fatal.
Kakinya membawanya menyusuri lantai dengan cepat. Dan kepalanya, mengikuti sumbu kaki—terjatuh ke bawah dengan derajat deviasi yang berkurang dalam waktu sangat cepat. Segera saja lehernya menghantam tepi meja, tempat ia meninggalkan pisau-akar tadi.
Dan itulah akhir riwayat Severus Snape.
Karena pisau itu telah mengiris nadi karotis di sisi lehernya hingga darah menyembur keluar—bersamaan dengan itu, gaya yang begitu kuat membuat kepalanya terbang—lehernya putus.
Dan dua detik kemudian, sebuah kepala dengan rambut hitam berminyak membingkai sebuah hidung besar berdarah, mendarat di atas sebuah timbangan ramuan di sebelah kuali yang terbalik. Timbangan itu bergetar dan jarumnya bergerak…
…menunjukkan berat kepala itu. Lima kilogram.
.
.
.
The End
0 comments:
Post a Comment