-----------
Disclaimer : Severus Snape, Hermione Granger, dan semua karakter yang ada di sini termasuk Potterverse adalah milik J.K. Rowling. Cara Mason adalah milik Terry Goodkind dari buku berjudul Sword of Truth. Dalam fanfic ini Cara Mason hanya sebagai bintang tamu. FYI, saya meminjam kesemuanya tanpa mengharapkan keuntungan material dalam fanfic ini.
Pairing : Severus Snape dan Hermione Granger, Scorpius Malfoy dan Rose Weasley, dan Lucius Malfoy dan Cara Mason.
Genre : Family, Drama, Romance, Humor.
Note : Untuk SnapeDay dan X-mast edition. Saya sudah mengerjakan fanfic ini sejak bulan Desember 2012. Pada awalnya saya berencana membuat genre angst, tapi entah mengapa plot bunny yang bermunculan membuat kacau otak saya. Jadinya malah berbau humor. Semoga aja tidak mengecewakan.
Balada Ramuan Cinta Satu Malam
By Opal Chalice
Untuk semua yang mengagumi Profesor Snape dan selalu mengenangnya.
Happy SnapeDay!
Rose Weasley, nama gadis itu, sebenarnya tidak suka pergi keluyuran seorang diri di tengah hujan salju begini. Meskipun hujan saljunya tidak deras-deras amat sih—hanya berupa butir-butir putih yang berjatuhan lembut dari langit seperti taburan gula putih.
Jika diberi pilihan, Rose lebih memilih diam di rumah, membaca di depan perapian dengan segelas coklat hangat. Ketimbang harus menyusuri jalanan Diagon Alley yang sibuk dan ramai berdesakan, keluar-masuk toko ramuan demi mencari sesuatu yang susah ditemukan. Betapa mahal harga sebuah pengorbanan, batin Rose kecut.
Berbelanja di Diagon Alley belum pernah terasa begitu menyebalkan. Dengan hawa dingin menusuk tulang dan jalanan yang licin berselimut es tipis. Gumpalan salju putih teronggok di sana-sini, sesekali memerangkap kaki Rose saat ia lengah karena terlalu sibuk mengamati etalase toko.
Meski demikian, Rose tersenyum dalam hati. Suasana Natal yang begitu kental ini membuat batinnya damai. Kelap-kelip lampu menyala merah dan hijau, juga berbagai ornamen khas perayaan Natal yang menghiasi setiap toko yang dilaluinya secara tak langsung membangkitkan semangat dan tekad gadis itu. Natal tahun ini akan jadi Natal yang sempurna, Rose yakin itu.
Setelah gagal menemukan bahan ramuan yang ia cari di Slug & Jiggers, toko yang menjadi tujuan terakhirnya adalah Mr. Mulpepper 's Apothecary. Beruntung, toko itu berada persis di sebelah Slug & Jiggers, sehingga Rose tak perlu berjalan terlalu jauh.
Toko yang menjual bahan ramuan dan peralatan meramu itu bisa dibilang sedang ramai-ramainya, tak jauh berbeda dengan toko-toko lain di Diagon Alley di saat Natal seperti ini. Para pelanggan yang datang tampaknya ingin memborong. Kelihatan dari jumlah kotak belanjaan yang menumpuk setinggi kastil Hogwarts. Semuanya berjejer tak karuan menunggu giliran untuk dihitung di meja kasir. Sementara itu para pembelinya duduk mengantri di deretan kursi empuk, tinggal membayar saja begitu total belanjaannya disebut si kasir.
Rose berusaha keras untuk tidak gigit jari, melihat gunungan kotak belanjaan yang berjalan dengan sendirinya ke meja kasir dan berlompatan masuk ke sebuah kardus setelah label harganya dihitung. Setiap item akan disusutkan dengan mantra Reducio kemudian dikemas dalam satu kotak besar supaya lebih mudah dibawa. Dari hitungan kasarnya, semua kotak belanjaan itu berjumlah ratusan.
"Jenggot Merlin!" rutuknya pelan. "Sepertinya aku datang di saat yang salah."
"Kenapa bisa begitu?" Sahut suara yang berasal dari samping kiri Rose.
"Karena di mana-mana semua toko heboh begini. Melihat antriannya, bisa-bisa aku baru pulang besok subuh," jelas Rose tanpa menoleh. Dia sudah tahu siapa orang yang mendadak muncul bagai siluman ini. Orang yang kehadirannya terasa seperti rasa gatal di kaki. Menyebalkan dan ingin buru-buru dienyahkan. "Itulah kenapa aku paling benci belanja di bulan Desember."
"Senasib denganku," ujar suara itu, nadanya bosan. "Paling benci bulan Desember, saat di mana semua toko beramai-ramai menaikkan harga barang yang tidak laku di tahun kemarin sebelum mendiskonnya hingga 70% dan mengklaim kalau barangnya itu edisi spesial Natal. Bayangkan kalau barang seperti itu dijadikan hadiah Natal kita. Jerk."
Mendengar sinisme dalam pernyataan ini, membuat bibir Rose otomatis tersenyum. "Kupikir semua kado Natalmu selalu didatangkan dari luar negeri. Benar, kan, Scorpius?"
Salah satu alis terangkat, pemuda berambut pirang-platinum yang berdiri di sebelah Rose itu menjawab, "Kado dari orangtuaku sih iya. Tapi kado yang dari teman-temanku? Kurasa tidak. Untunglah mereka tidak pernah bertanya kemana perginya semua kado itu. Juga tidak pernah bertanya dengan apa aku menyalakan perapian di kamarku. Mereka tidak akan suka jawabannya."
Rose memutar bola matanya, keangkuhan tuan muda Malfoy ini selalu membuatnya minta ampun dalam hati. "Mungkin seharusnya aku bertanya, supaya lain kali tak perlu repot-repot memberimu kado Natal."
"Aww, Rosie, kau menyakiti hatiku," balas Scorpius, secara dramatis meletakkan salah satu tangannya di dadanya. Meski begitu, bibirnya membentuk seulas seringai khas. "Boleh kutanya apa yang sedang kau cari di sini? Kuharap bukan Amortentia. Meski kalau benar, aku tak akan terkejut."
"Tentu saja bukan," balas Rose, menahan rasa kesal yang mulai muncul ke permukaan—perasaan yang selalu dirasakannya setiap kali Scorpius ada dalam radius 10 meter. "Cuma suatu ramuan yang dinamakan 'bukan-urusanmu', Scorp."
"Ah, sepertinya aku sudah terlalu sering mendengar nama ramuan yang satu itu darimu," balas Scorpius kalem, tetapi ada kilau aneh di mata kelabunya saat bertatapan dengan mata Rose. "Tapi kali ini, ramuan 'bukan-urusanmu' punya nama lain yang menarik. Epimedium Sagittatum."
Kedua mata coklat Rose membelalak. "Apa? Ta-tapi… bagaimana kau…?"
Menyeringai tipis, Scorpius melambai-lambaikan secarik perkamen yang mirip sekali dengan perkamen berisi daftar belanjaan Rose. Daftar belanjaan yang sialnya cuma tertulis satu baris kalimat. Epimedium Sagittatum.
"Bagaimana aku mengambilnya? Kurasa kau tahu aku punya banyak bakat."
"Salah satunya bakat copet," balas Rose gemas. "Kembalikan!"
Kedua tangan Rose mendadak gatal ingin mencekik seseorang—mencekik Scorpius, tepatnya. Cuma tiga langkah, batin Rose geram. Tiga langkah saja sebelum aku bisa memelintir leher ular berambut pirang ini.
"Rosie, kau ini benar-benar tidak bisa ditebak. Kado Natal untuk pacar pada umumnya mainan, coklat, buku atau boneka. Tapi kau malah ingin menghadiahkan obat kuat. Aku penasaran bagaimana kau akan menjelaskan ini pada paman Severus dan bibi Mione." Masih menyeringai puas, Scorpius melambai-lambaikan perkamen itu di atas kepala Rose. Sementara Rose yang kalah tinggi, melompat-lompat berusaha keras meraihnya.
"Aku tak harus menjelaskan kepada siapapun. Terutama kepadamu!" bentak Rose, makin kesal. "Kembalikan, dasar ular licik!"
"Akan kukembalikan," balas Scorpius, berkelit dari sergapan Rose. "Asal kau memberitahuku siapa cowok itu."
"Tidak akan!"
Kesabaran Rose habis. Alih-alih melompat meraih perkamen yang dilambaikan tinggi-tinggi di atas kepalanya, Rose malah melayangkan tendangan ke tulang kering Scorpius. Pemuda bertubuh jangkung itu pun berteriak kesakitan dan mengumpat. Ketika ia membungkuk untuk mengusap-usap kakinya yang sakit, Rose memanfaatkan kesempatan itu untuk menjambret perkamennya dari tangan Scorpius.
"idiot!" rutuk Rose geram, sebelum buru-buru keluar dari toko.
Idiot, otak udang, kepala bebal, babon bego, ular sawah, kadal bau dan tanpa sadar Rose sudah mengabsen nama seisi kebun binatang.
Sedari dulu Scorpius Malfoy selalu mampu membuatnya kesal. Pemuda berambut pirang platinum itu bukan saja terkenal sebagai playboy karbitan di Hogwarts, tetapi juga berandalan paling suka ikut campur.
Rose mungkin bisa menghindari berurusan dengan pemuda itu, kalau saja dia bukan anak baptis dari Severus Snape—ayah tiri Rose. Parahnya lagi, Scorpius pandai mengambil hati siapapun, termasuk Hermione Weasley-Snape—ibu Rose yang dipanggilnya dengan nama kesayangan 'Bibi Mione'. Hugo—adik kandung Rose satu-satunya bahkan menganggap Scorpius 'cukup oke' untuk dijadikan teman. Akibatnya bisa ditebak, Rose harus sering-sering berurusan dengan Scorpius Malfoy.
Rose mencengkram erat perkamen di tengannya. Dia harus menemukan Epimedium Sagittatum. Ramuan itu diperlukannya bukan untuk obat kuat, seperti dugaan Scorpius tadi. Melainkan untuk ramuan penyubur kandungan.
Ingatan Rose kembali ke peristiwa yang terjadi beberapa bulan yang lalu, saat ia memergoki ibunya membuang test pack atau alat tes kehamilan praktis ke tempat sampah.
"Padahal aku sudah telat dua minggu," gumam ibunya. Rose yang saat itu hendak menaiki tangga, buru-buru bersembunyi di balik dinding dan mengintip. Raut wajah Hermione terlihat mendung, secara tidak langsung membuat hati Rose ikut sedih.
"Hermione," tegur suara bariton yang dalam dan lembut milik Severus Snape. Pria yang sejak sepuluh tahun terakhir sudah menjadi ayah tiri Rose itu perlahan memeluk Hermione dari belakang sambil mencium puncak kepala istrinya itu. Ekspresi Severus terlihat datar seperti biasa, namuan kedua mata kelamnya mampu mengatakan hal yang tak terucap oleh mulutnya.
"Mungkin kita harus terus berusaha," ujar Hermione, berusaha tersenyum meski suaranya bergetar. Seperti sedang menahan tangis. "Aku tahu aku bisa, Sev. Kupikir aku hanya perlu memperbaiki pola makanku. Atau mungkin aku harus minum vitamin…"
"Hermione, love, dengarkan aku." Severus memutar badan istrinya agar berbalik menghadap ke arahnya. Ia menangkupkan kedua tangannya di wajah Hermione. Dengan kedua ibu jarinya, ia menghapus butiran air mata yang mengalir di pipi Hermione."Sejak awal kita menikah, yang kuinginkan cuma satu. Bersama denganmu. Hidup mendampingimu sebagai suamimu dalam segala keadaan. Susah dan senang. Sehat dan sakit. Muda hingga tua. Dan sejauh ini aku sudah mendapatkan semua yang kuinginkan darimu. Aku bahagia, Hermione. Tak ada yang kurang bagiku."
Rose menggigit bibir bagian bawahnya agar ia tidak ikut terisak seperti yang sedang dilakukan ibunya sekarang. Hermione tampak membenamkan wajahnya ke dada bidang Severus sambil mendekap erat tubuh pria yang dicintainya tersebut.
"Aku masih belum bisa memberimu anak, Sev. Sudah sepuluh tahun kita menikah…"
Severus menghela nafas panjang. "Kita punya Rose dan Hugo."
"Tapi mereka bukan anakmu," tukas Hermione lirih, mendongakkan wajahnya dan menatap sepasang mata kelam Severus. "Aku tahu kau menyayangi mereka seperti anakmu sendiri, dan aku sangat bersyukur. Tapi aku tak bisa berhenti berpikir kalau pasti sesekali kau akan membayangkan bagaimana rasanya punya anak sendiri—darah dagingmu sendiri. Anak laki-laki yang rambutnya sehitam rambutmu. Atau gadis kecil yang matanya seindah matamu. Bagaimanapun, anak tiri berbeda dengan anak kandung, Sev."
"Saat kita saling mengikat janji di altar, aku tak berpikir soal itu. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya bisa bersatu denganmu, mencintaimu dan membahagiakanmu selamanya."
"Aku juga ingin membahagiakanmu, Severus. Sangat ingin. Selama ini aku terus mencoba. Aku ingin bisa memberimu anak, satu saja, sebelum umurku sudah terlalu tua untuk bisa melahirkan. Aku ingin memberikan anugerah paling indah untukmu, Sev. Buah dari cinta kita berdua."
"Rose dan Hugo adalah anugerah terindah yang pernah ada dalam hidupku, Hermione. Kau tahu kenapa?" tanya Severus lembut.
Mengerjapkan kedua matanya yang berair, Hermione membalas dengan gelengan kepala.
"Karena mereka terlahir dari rahim wanita paling hebat yang pernah kutemui. Tak peduli dari mana asal mereka, bagiku Rose dan Hugo adalah hadiah dari Tuhan. Dan kau, Hermione Weasley-Snape, kau adalah malaikat yang mengantarkannya kepadaku. I love you, my angel. Jangan pernah berpikir rendah tentang dirimu, karena kau sudah memberikan kebahagiaan paling sempurna untuk pria yang pernah merasa hancur luar-dalam sepertiku. Pada detik di mana kau bersedia menjadi istriku, aku merasa terlahir kembali. Percayalah, apa yang kurasakan kepadamu tidak pernah berkurang sedikit pun. Justru semakin bertambah hari demi hari."
"Oh, Severus…. Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu."
Ciuman yang mengikuti pernyataan cinta ini adalah ciuman paling indah yang pernah dilihat Rose dalam lima belas tahun masa hidupnya. Ibunya yang sebelumnya tampak begitu rapuh, kini memasrahkan diri dan mencurahkan isi hatinya lewat bahasa tubuhnya. Dan Severus adalah satu-satunya pria yang bisa memahami bahasa tubuh ini. Bibir keduanya bukan hanya menghubungkan mereka secara fisik, tetapi juga jiwa dan hati. Ekspresi damai dan penuh cinta di wajah keduanya mampu menggetarkan hati.
Kali ini Rose harus membekap mulutnya kuat-kuat agar tidak mengeluarkan suara. Kedua matanya sudah basah. Ia kesulitan membendung airmatanya. Ucapan ayah tirinya menyentuh begitu dalam. Tanpa sadar Rose mengepalkan kedua tangannya, ada sesuatu yang dalam dan perih merasuki ke relung hatinya. Sejak itulah ia yakin bahwa ibunya telah memilih pria yang tepat untuk dinikahi. Pria yang berjiwa besar seperti Severus berhak mendapatkan kebahagiaan dalam bentuk apapun, dan Rose bertekad untuk bisa memberikannya.
"Hei, Rosie!"
Suara Scorpius efektif mengembalikan Rose ke alam sadar.
Membalikkan tubuhnya sambil menahan kesal, Rose melotot galak. "Apa sih maumu, Scorp?"
Sambil masih terengah-engah setelah berhasil mengejar Rose sejauh tiga blok, Scorpius cepat-cepat menegakkan tubuhnya dan membalas dengan gaya seelegan mungkin, "Aku hanya ingin tahu jawaban untuk pertanyaanku tadi."
"Pertanyaanmu tadi?" Kening Rose mengernyit.
"Obat kuatmu itu," desak Scorpius. Meski menyeringai licik, ekspresi di wajahnya menunjukkan rasa penasaran yang kentara. "Untuk siapa? Cowokmu?"
"Aku tak tahu apa pentingnya untukmu. Memangnya kalau tahu, kau mau apa?"
"Entahlah. Mengadu ke paman Severus bisa jadi pilihan pertamaku. Mengutuk cowok sialan itu jadi impoten mungkin akan jadi pilihan berikutnya," balas Scorpius, mencibir. Cibirannya berubah menjadi seringai kemenangan saat mendapati ekspresi tak sabaran di wajah Rose.
Rose berusaha menahan marah dan menarik nafas panjang dua-tiga kali sebelum menjawab, "Kalau kau kuberi tahu, apa yang membuatku yakin kau tidak akan membocorkannya pada siapa-siapa?"
"Seorang gentlemen sejati tidak akan melanggar janjinya. Aku berjanji tidak akan memberitahukan kepada siapapun. Malahan, kurasa aku bisa membantumu."
"Sungguh?"
"Yep." Lagi-lagi salah satu alis Scorpius terangkat, ekspresinya mengejek. "Epimedium Sagittatum tidak segampang itu ditemukan. Kalau kau pikir kau bisa membelinya semudah membeli permen, kau salah besar, Rosie."
"Aku tahu ramuan itu dijual sangat terbatas, dan pembelinya harus berumur di atas dua puluh satu tahun," tukas Rose tak mau kalah, dia paling benci diremehkan. Terutama oleh pemuda sok tahu seperti Scorpius Malfoy.
"Selain itu kau harus berdarah murni dan sudah menikah. Menikah dengan kaum darah murni juga, kalau boleh kutambahkan." Senyum sinis di bibir Scorpius semakin lebar saat mendapati keterkejutan Rose. "Dan menurut berita paling akurat yang beredar, setahun terakhir ini ramuan itu sudah tidak boleh dijual ke publik."
"Apa?!" Kedua mata biru Rose membelalak. "Bagaimana kau bisa tahu soal ini?"
"Jadi kaum darah murni kadang ada untungnya juga. Tapi mungkin kau akan sulit mempercayainya." Scorpius mengangkat dagunya, angkuh. "Salah satunya karena ramuan ini adalah ramuan yang sangat familiar bagi kaum darah murni. Jadi bisa dipastikan semua keluarga penyihir berdarah murni memilikinya, meski ramuan ini sudah dilarang dijual bebas."
Rose terdiam. Ya, dia pernah mendengar tentang ini. Bahwa kaum penyihir berdarah murni punya tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Penyihir berdarah murni, terutama kalangan bangsawannya, memiliki pemahaman bahwa tujuan utama dari sebuah pernikahan adalah untuk menghasilkan keturunan dan ahli waris. Sejak dilahirkan, setiap penyihir berdarah murni sudah mulai dijodohkan dengan kerabat dekatnya. Tak perlu memikirkan apakah nantinya mereka akan saling mencintai atau saling bunuh setelah nantinya dinikahkan.
Pasangan suami-istri penyihir dari golongan ini biasanya tidak pernah tidur dalam satu kamar (dan tentunya satu ranjang). Mereka hanya tidur bersama jika berpikir sudah saatnya untuk memproduksi anak. Untuk beberapa penyihir wanita yang benar-benar tak ingin berlama-lama menunggu kehadiran anak dalam perkawinan tanpa cinta ini, mereka akan meminum ramuan Epimedium Sagittatum di malam pertama mereka. Konon, benih mereka akan disemai tepat di malam itu juga, dan hampir bisa dipastikan mereka akan hamil di hari berikutnya.
Setelah berhasil memproduksi ahli waris, secara otomatis pernikahan ini mencapai tujuan akhirnya. Karena dunia sihir tidak mengenal perceraian, biasanya pasangan suami istri ini mempertahankan statusnya, meskipun teman tidur mereka berganti-ganti. Perselingkuhan macam ini sudah menjadi rahasia umum dan tak akan menjadi skandal asalkan pasangan suami istri tersebut saling tutup mulut.
"Ya, aku pernah mendengar hal semacam itu," ujar Rose pelan.
Meski ia tidak begitu suka Scorpius, tak sopan rasanya kalau ia sampai membuat pemuda itu tersinggung. Ayah Scorpius sendiri, Draco Malfoy, adalah produk dari perkawinan jenis ini. Lucius Malfoy dan Narcissa Malfoy tidak saling mencintai. Kalau ada hal yang kompak mereka lakukan, itu adalah saling menyelingkuhi. Untunglah kedua orangtua Scorpius adalah pasangan love-match, dan tampak saling mencintai.
"Kau sudah pernah mendengarnya tapi masih ingin mencekoki pacarmu dengan ramuan ini?" tanya Scorpius. "Asal tahu saja, Rosie, ramuan ini punya alasan kuat kenapa harus dilarang dijual ke publik. Tujuan dari penggunaan ramuan ini merusak tatanan moral dan sistem norma masyarakat sihir."
"Kalau digunakan tidak semestinya," tukas Rose. Ia menghela nafas panjang saat Scorpius memandanginya dengan sorot tak percaya. "Ramuan itu bukan untukku, Scorp. Itu untuk… untuk ibuku…"
Entah benar atau tidak, tapi ekspresi Scorpius terlihat lega, dan Rose tidak tahu apa alasannya.
"Ini semua tidak ada hubungannya denganmu. Kenapa kau ingin ikut campur?" selidik Rose.
Jujur, ia masih tidak ingin melibatkan siapapun dalam hal ini, terutama Scorpius. Playboy tulen itu memang bukan teman dekatnya dan hubungan pertemanan mereka sama akrabnya seperti anjing versus kucing. Tapi sesekali Scorpius bisa bersikap baik kepadanya. Well, mungkin karena ayah tiri Rose berhubungan baik dengan kakek dan ayah Scorpius sejak lama, jadi tak ada alasan bagi mereka untuk bermusuhan.
Scorpius mengedikkan bahunya yang lebar dan atletis.
"Awalnya aku cuma penasaran kenapa cewek juara kelas dan prefek kaku sepertimu sampai nekat mencari ramuan yang terkenal bersifat skandal. Aku kira kau bermaksud menjebak cowok yang kau sukai supaya mau menikahimu, atau bahkan memaksa orangtuamu supaya menyetujui hubunganmu dengan seseorang yang tidak mereka sukai. Hell, semua orang tahu paman Severus sangat protektif kepadamu, sampai-sampai menghalau cowok manapun yang menaksirmu. Mungkin kalau kau bisa hamil duluan, mereka akan terpaksa merestui."
Wajah Rose merah padam, tak menyangka Scorpius sampai berpikir yang tidak-tidak seperti itu.
"Terima kasih untuk perhatianmu yang sebenarnya sama sekali tidak aku harapkan," ujar Rose selugas mungkin. "Tapi aku sudah tahu betul apa rencanaku sepuluh tahun ke depan. Pernikahan dini tidak termasuk di dalamnya. Aku ingin menjadi seorang potion mistress dan berkarir dulu, sebelum menikah."
Seulas seringai aneh menghiasi bibir Scorpius. "Lega mendengarnya. Berarti sepuluh tahun ke depan, aku masih punya banyak kesempatan."
"Kesempatan untuk apa?" kening Rose berkerut, curiga.
"Untuk jadi potion master dan berkarir juga. Mungkin kita bisa berpartner nantinya," balas Scorpius kalem, kedua mata kelabunya berkilau misterius.
Sesuatu di dalam diri Rose, lebih tepatnya suara hatinya, mengingatkan kalau dia harus berhati-hati pada pemuda yang satu ini. Ada keyakinan kuat bahwa 'partner' yang dimaksud Scorpius bukanlah makna secara harfiah. Tapi Rose akan mencemaskan ini nanti. Sekarang ada hal yang lebih penting untuk dicemaskan.
Scorpius berdehem, agak kikuk di bawah tatapan mata Rose yang penuh selidik. "Setelah tahu tujuanmu, mungkin… mungkin aku bisa memberimu bantuan."
"Dan mungkin aku bisa memberimu kutukan Kepak-Kelelawar kalau sampai kau membocorkannya," balas Rose, tak sabaran. Semua orang tahu Scorpius Malfoy hobi berkoar-koar. Mulai dari kekayaan keluarganya, siapa saja yang berhasil dia pacari, dan banyak lagi. "Untuk yang satu ini, aku tidak mau sampai gagal."
"Sedih rasanya tahu kau tidak mempercayaiku," kata Scorpius, pura-pura sakit hati, yang rupanya gagal karena Rose malah mendengus keras.
"Aku tidak percaya pada mulutmu."
Menyeringai, Scorpius membalas, "Bukan kau satu-satunya cewek yang bilang kalau mulutku bisa melakukan banyak hal yang tidak dipercaya. Mau bukti?"
Kedua pipi Rose lagi-lagi memerah. Scorpius benar-benar tipikal Malfoy, suka memelintir kata dan membuatnya menjurus ke hal yang tak senonoh. "Tidak. Sudah banyak yang membuktikan kalau mulutmu sama parahnya seperti ember bocor."
Diam-diam Scorpius tertawa dalam hati. Suara Rose berubah agak melengking, seolah berusaha keras menyamarkan rasa malunya. Menahan api yang mendadak berkobar di dadanya, pemuda itu akhirnya memutuskan untuk berhenti menggodanya.
"Kalau ada satu hal yang harus kau percaya, nona sok tahu, aku tahu sesuatu yang kau tidak tahu," ujar Scorpius, sengaja menekankan pada setiap kata 'tahu' yang ia ucapkan agar gadis berambut merah di hadapannya ini semakin kesal. Tiga kali kata 'tahu' dan wajah Rose Weasley berubah-ubah warna saking kesalnya.
"Apa itu? Apa yang aku tak tahu dan kau tahu?" geram Rose, jengkel. Dia selalu sebal jika ada orang yang lebih tahu sesuatu darinya, apalagi jika seseorang itu adalah Scorpius Malfoy, si ember bocor kelas wahid di Hogwarts.
"Tempat membeli Epimedium Sagittatum," jawab Scorpius seelegan mungkin, berusaha menyuguhkan seringainya yang paling menawan.
Rose terkesiap. Dari sekian banyak hal yang tak bisa dipercaya dari Scorpius, mungkin inilah yang paling susah dipercaya. Tapi dari seringainya itu, sepertinya Scorpius benar-benar yakin. Seringai yang menawan. Tapi tetap saja seringai ular. Dasar Slytherin licik.
"Baiklah. Kalau begitu, aku mau kau melakukan Sumpah Penyihir lebih dulu," tuntut Rose.
Sumpah penyihir, meskipun tidak mematikan seperti Sumpah Tak Terlanggar, adalah sebuah sumpah yang memiliki ikatan magis dengan orang yang mendeklarasikannya. Begitu sumpah ini terucap, maka ia akan terikat seumur hidup dan takkan pernah bisa melanggarnya.
Scorpius memutar bola matanya, minta ampun dengan tuntutan Rosie si tukang perintah. Meski mendongkol, akhirnya ia pun memilih untuk menurutinya. "Aku bersumpah sebagai seorang penyihir bahwa aku tidak akan membocorkan rencana Rose Weasley sebelum bisa terlaksana."
"Jadi, di mana tempatnya?" desak Rose, tidak sabaran. Air mukanya tampak cerah.
"Ikuti aku," ucap Scorpius tenang, berusaha keras menyembunyikan seringainya. Damn, hari ini ia sering sekali menyeringai. Terlalu sering malah. Ini karena suasana hatinya sedang baik. "Kita akan pergi ke Knockturn Alley."
TBC
0 comments:
Post a Comment